Oleh:
Dr. MADE WARKA, SH., M.Hum
Dosen Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Pernah muat di Jurnal Ilmu Hukum MIMBAR KEADILAN
ISSN : 0853-8964, Edisi : Januari-Juni 2006
ABSTRAK
Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja sebagaimana
dirumuskan alam Pasal 338 KUHP. Demikian juga dirumuskan dalam Pasal 351 ayat
(3) KUHP dalam hal ini dirumuskan dengan sengaja merusak kesehatan yang
mengakibatkan matinya orang lain berarti kualifikasi hukumnya sama. Perbuatan
yang berakibat adanya suatu kematian orang lain. Perbuatan ini tentunya ada
unsur kesamaan atau minimal bersinggungan erat dengan ketentuan pasal pasal
pidana lainnya yang berdekatan, misalnya Pembunuhan yang direncanakan (Pasal
340 KUHP), Penganiayaan yang menimbulkan kematian (Pasa13S1 ayat (3) KUHP) dan
Pembunuhan biasa yaitu Pasal 338 KUHP. ketiga pasal tersebut merupakan pasal
pasal pidana yang berdekatan dan samasama mengatur tindak pidana yang
menimbulkan kematian dengan kata lain terdapat unsur kesamaan, walaupun ada
unsur lain yang membedakan.
Tukang teluh dengan segala motivasi, aktifitas, dampak yang
ditimbulkannya adalah merupakan fenomena sosial. Bisakah pelaku teluh dengan
segala motivasi dan dampak yang ditimbulkan ditindak sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 351, 338 dan 340 KUHPidana?
Kata Kunci: Teluh, Sanksi Pidana
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui bersama,
Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau. Selain itu, Indonesia
adalah negara agraris yang masyarakatnya mengandalkan hidup dari bertani dan
bercocok tanam. Kondisi yang demikian menjadikan mayoritas masyarakat Indonesia
banyak bermukim di pedesaan dengan mata pencarian sebagai petani, peternak,
berdagang, buruh, nelayan dan lain-lain yang tidak membutuhkan ketrampilan
khusus dan pendidikan tinggi.
Perbedaan mata pencaharian ini,
dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan masyarakat yang secara teritorial
dan letak geografis membedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Untuk itu manusia dalam mencapai kebutuhan hidup dan tujuannya harus melakukan
interaksi antara masyarakat yang dengan masyarakat yang lainnya.
Manusia adalah makhluk sosial, guna
memenuhi kebutuhan baik kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan
tersiser yang ada dalam dirinya maka manusia harus mau memasuki dunia pergaulan
dalam kehidupan yang tidak dapat dihindarkan lagi, pergaulan atau interaksi antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dengan berbagai alasan dan motif
yang semakin kompleks dan penuh dengan keunikan.
Pergaulan manusia yang berada di
tengah-tengah masyarakat, ternyata mempunyai dampak tertentu terhadap manusia
itu sendiri. Dampak yang ditimbulkan akibat pergaulan antar manusia itu bisa
berupa dampak positif dan bisa berupa berupa negatif.
Dalam lingkungan pergaulan yang baik
dan kondusif, manusia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan baik,
terbimbing, dan terarah sesuai dengan suara hati nurani yang bersih. Lingkungan
kondusif seperti ini menjadikan manusia sehat baik segi jasmani maupun segi
rohaninya, sehingga dengan taraf kecakapan dan kecerdasan sosial yang
dimilikinya, manusia akan sanggup memecahkan segala permasalahan yang sering
dijumpai dalam kehidupannya Pergaulan yang baik adalah pergaulan yang masih
mengindahkan batas-batas pergaulan yang diijinkan oleh norma-norma hukum serta
menurut norma ajaran agama yang diyakini kebenarannya.
Sebaliknya, lingkungan pergaulan
yang "tidak sehat" dapat pula mengantarkan seseorang kepada perkembangan
pribadi yang menyimpang. Kepribadian yang menyimpang dapat diidentifikasi
dengan perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan norma-norma hukum atau
adat-istiadat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Kepribadian menyimpang
seperti ini, tidak jarang pada akhirnya mengantarkan seseorang berada pada
titik kerendahan dan kehinaan hidup.
Pergaulan yang bebas,
"merdeka" dan tidak terkontrol sering melahirkan anggota masyarakat
yang acuh dan tidak perduli terhadap lingkungan sosial dan masyarakatnya.
Ketidakpedulian tersebut akan melahirkan pribadi-pribadi yang senantiasa
melakukan pelanggaran, baik pelanggaran pada norma sosial, norma agama, dan
norma hukum. Pribadi-pribadi yang demikian tidak jarang melakukan
tindakan-tindakan merusak dan melawan hukum baik secara terangterangan maupun
secara tersembunyi seperti perampokan, pencurian, perkosaan, dan bentuk-bentuk
penyakit sosial masyarakat lainnya. Secara "tersembunyi", bisa dengan
menggunakan ilmu hitam seperti gendam, guna-guna, santedteluh dan hal-hal lain
yang bersifat magis. Hal yang terakhir ini, sudah menjadi rahasia umum
dikalangan masyarakat indonesia pada umumnya, dan masyarakat Kabupaten
Banyuwangi pada khususnya. Bahwa kehidupan yang berbau mistis ini dianggap
paling menguntungkan bagi seseorang atau kelompok orang yang bisa digunakan
untuk menyakiti, Menyiksa, membinasakan, dan/atau menghancurkan keharmonisasian
pada orang yang dianggapnya sebagai musuh.
Pola kehidupan yang bersifat mistis
dan negatif dengan menggunakan media magic ini di dalam masyarakat dikenal
dengan sebutan "Teluh". Teluh digunakan seseorang dalam rangka untuk
mencari dan menuruti kepuasan yang bersifat pribadi dengan dasar sirik, iri dan
dengki untuk suatu tujuan tertentu (jabatan atau kedudukan, mancari suami/istri
bahkan untuk menyakiti atau membinasakan orang). Keadaan atau fenomena seperti
ini, masih sering kita jumpai di tengah kehidupan masyarakat. Khususnya di
Kabupaten Banyuwangi. Sehingga tidak jarang ditemukan adanya korban-korban yang
teraniaya sehingga anggota badannya menjadi cacat, atau bahkan meninggal
sebagai akibat dari perbuatan tukang teluh atau dukun santet.
Keadaan seperti yang tergambar di
atas adalah sesuatu yang nyata. Namun, sampai saat ini pelaku
"penyantetan" (tukang teluh) tidak pernah sampai menyeret pelakunya
masuk ke lembaga peradilan. Karena memang ada aturan yang jelas untuk menghukum
seseorang jika ditengarai melakukan tindak pidana. Sehingga berlakulah
pengadilan masyarakat yang sama sekali tidak sesuai dengan semangat di
Indonesia yakni sebagai negara hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima.
Tidaklah mudah membuat hukum pidana, karena meliputi 3 aspek kehidupan manusia,
manusia sebagai individu (kita harus menghormati hak-hak asasi manusia),
manusia sebagai mahluk sosial (bagaimana manusia berinteraksi dengan sesamanya)
dan manusia sebagai mahluk budaya (yang menghasilkan karya-karya kebudayaan
yang harus dilindungi oleh hukum). Profesor Muladi pernah mengutarakan bahwa
dalam mempidana atau mengkriminalisasi harus sangat memperhatikan syarat-syarat
yang banyak dan sifatnya limitatif. Ini karena hukum pidana sifatnya adalah
Ultimum Remedlum.
Harus diakui bahwa rancangan
KUHPidana saat ini menanggalkan proses-proses untuk mengartikulasikan realitas
disiplin non-hukum (sosial, ekonomi, dan politik, misalnya) dalam perumusannya.
Padahal, faktual proses transisi demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya
menjamin perlindungan terhadap kepentingan publik secara adil dan pantas. Untuk
itu, pembaruan KUHPidana harus menyentuh ranah realitas sosial politik
Indonesia bahwasanya posisi tawar masyarakat (society) tidak cukup kuat di
hadapan aktor lainnya seperti aparatus birokrasi dan sektor swasta (termasuk
korporasi). Maka dislnllah peranan aparat penegak hukum (pollsi, jaksa, dan hakim)
untuk mengadakan proses peradilan dengan -seharusnya- tidak bersandar pada
hukum formal saja, tetapi juga bersandar pada hukum non-formal yang didasarkan
pada tradisi masyarakat dengan menyelesaikan persoalan pelaku teluh yang
memenuhi rasa keadilan pada masyarakat.
Oleh karena itu, masalah teluh
dengan aspek yuridisnya menarik perhatian saya untuk diteliti sehingga bisa
memberikan pendapat kepada penegak hukum dalam memecahkan masalah teluh di
Kabupaten Banyuwangi. Meskipun peneliti menyadari bahwa persoalan tersebut
sungguh sangat rumit, karena unsur-unsur yang harus dipenuhi
dalam suatu proses peradilan sulit untuk dijangkau (adanya pelaku,
adanya saksi, dan adanya barang bukti). Karena ranah magis sulit untuk bisa
dibuktikan secara ilmiah dan logis.
Karakteristik dan Motivasi Teluh
Berdasarkan hasil wawancara dengan
tukang teluh dan dari beberapa narasumber, dapat diketahui bahwa teluh sudah
merupakan fakta sosial. Hal ini berarti bahwa teluh telah hidup dan berkembang
dikalangan masyarakat tertentu. Sekalipun -diberbagai tempat- terdapat
perbedaan penamaan terhadap istilah ini. Namun, pada hakikatnya pekerjaan teluh
mempunyai motivasi dan tujuan tertentu. Demikian pula, baik pelaku teluh dan
pekerjaan teluh memiliki karakteristik tertentu. Sesuai dengan keadaan geografis
dan struktur masyarakatnya, tidak dipungkiri terdapat perbedaan karakteristik
di antara pelaku-pelaku teluh di beberapa daerah, dan cara kerjaannya berbeda
satu sama lain.
Karakteristik dari tukang teluh atau
pelaku teluh dan pekerjaan teluh yang akan dikemukakan adalah kasus yang hidup
dan berkembang di daerah Jawa Timur khususnya di Kabupaten Banyuwangi dan
Jember. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa narasumber dan menurut
hasil penelitian yang dilakukan selama ini. Pada umumnya pelaku teluh atau
tukang teluh memiliki karakteristik sebagai berikut :
- Pelaku teluh bersikap angkuh dan tidak disukai oleh anggota masyarakat di lingkungan sekitarnya.
- Pelaku teluh rata-rata hanya berpendidikan rendah, sekolah dasar, bahkan ada diantaranya yang buta huruf.
- Pelaku teluh mempelajari cara-cara melakukuan teluh dari seorang guru. Hanya sebagian kecil yang mewarisi dari leluhurnya, dengan kata lain, teluh sebagian besar dipelajari sejak usia muda dan sedikit sekali yang diwariskan dari leluhurnya.
- Sekalipun bukan profesi utama, tetapl pelaku teluh menerima imbalan untuk melaksanakan tugasnya. Pekerjaan utamanya biasanya sebagai petani.
- Pelaku teluh dalam melakukan tugasnya kebanyakan atas suruhan orang lain, dan sedikit sekali yang melakukannya hanya untuk kepentingan pribadi.
- Sebagian pelaku teluh berusia lanjut.
- Pelaku atau tukang teluh bertempat tinggal jauh dari kota.
Alat-alat Teluh
Karakteristik pekerjaan teluh
umumnya dilakukan melalui perantara alat atau sarana berupa benda-benda sebagai
simbol. Sarana atau alat yang dipergunakan berupa berbeda-berbeda.
Benda-benda tersebut satu sama lain
sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh mereka yang menyuruh melakukan
peneluhan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa sarana atau alat yang
dipergunakan dalam praktek pekerjaan teluh.
- Alat pertama disebut puputiran, berupa boneka-boneka yang dibuat dari jerami. Boneka dilambangkan sebagai korban atau sasaran terhadap siapa teluh itu akan ditujukan.
- Alat kedua terdiri dari baskom berisi air dan pisau. Kedua alat ini ditujukan untuk membuat korban atau sasaran mati, dengan cara menusukkan pisau atau gunting kepada boneka tad! dan menancapkan pisau ke dalam baskom berisi air. Jika air berubah warna menjadi merah berarti pekerjaan teluh sukses dengan tepat mengenai sasarannya.
- Alat ketiga disebut memerangan yang dipergunankan dengan tujuan yang sama dengan alat pertama dan alat kedua dlatas. Namun, dengan alat ini terleblh dahulu korban akan merasakan gatal-gatal di seluruh anggota tubuhnya.
- Alat keempat biasa disebut sebagai alat pelengkap berupa jarum, paku atau sendok. Tujuan penggunaan alat keempat ini adalah membuat korban menderita terlebih dahulu sebelum pada akhirnya korban mati karena psnderitaannya.
Macam-macam Teluh
Sejalan dengan penggunaan alat-alat
tersebut diatas, diperoleh petunjuk terdapat tiga jenis teluh sesuai dengan
permintaan pemesan dan tujuannya. Ketiga macam teluh itu adalah:
- Teluh wrejit, yakni semacam teluh yang paling ganas oleh karena korban teluh ini akan mengalami muntah darah segar dan biasanya dalam waktu singkat korban akan mati.
- Teluh ganggong, yakni semacam teluh yang mengakibatkan korban akan menderita pada salah satu bagian tubuhnya terus-menerus sampai korban mati jika tidak diberikan penawar.
- Teluh buncit, yakni semacam teluh yang dapat mematikan usaha ekonomi. Dengan cara mananam botol berisi tanah berasal dari kuburan. Biasanya ditempatkan pada sekitar pekarangan usaha atau tempat tinggal seseorang yang akan dijadikan mangsa teluh.
Berdasarkan karakteristik pekerjaan
teluh -baik dari segi alat yang digunakan dan macam teluh serta akibat yang
ditimbulkan- sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
penggunaan teluh adalah membuat korban teraniaya selama hidupnya dan tidak
tertutup kemungkinan diakhiri dengan kematian korban. Pada umumnya motivasi
dari perbuatan teluh adalah dendam kesumat atau persaingan usaha yang tidak
sehat antara yang menyuruh melakukan pekerjaan teluh dengan korban teluh.
Arti dan Peranan Teluh Sebagai Fakta Sosial
Teluh sebagai salah satu fakta
sosial yang tumbuh dan berkembang terutama di masyarakat yang berdiam di daerah
pantai utara atau selatan pulau jawa. Kejadian-kejadian yang diakibatkan karena
pengaruh perbuatan teluh telah diketahui oleh masyarakat dan aparat penegak
hukum. Dari hasil wawancara dengan petugas pengadilan di Kabupaten Banyuwangi
diperoleh petunjuk bahwa terdapat beberapa tukang teluh masih aktif yang
sebagian besar diantaranya telah tidak aktif melakukan perbuatan teluhnya dan
menandatangani surat pernyataan di Kepolisian setempat. Berdasarkan wawancara
tersebut diatas jelaslah bahwa pekerjaan teluh memang ada dan pada umumnya
teluh di masyarakat bersifat pasif dalam arti tukang teluh menunggu order dari
orang-orang yang menghendaki jasanya untuk melampiaskan sifat busuknya.
Namun demikian, mereka yang memiliki
ilmu teluh dipersyaratkan agar dalam setahun harus dipergunakan atau memiliki
korban. Jika tidak dipergunakanakan membawa akibat buruk bagi pemiliknya. Hal
terakhir inilah yang membuat orang yang memiliki ilmu teluh menjadi aktif
dengan mencari orang yang memerlukan jasanya atau ia akan mempergunakan ilmunya
untuk kepentingan dirinya sendiri. Dari hasil wawancara tukang teluh di daerah
Kabupaten Banyuwangi telah diperoleh keterangan bahwa ada seseorang yang
ditunjuk menjadi perantara dan sudah tentu mereka yang dipereaya sepenuhnya
oleh pemilik ilmu ini. Beberapa kasus kematian dalam pemilihan calon-calon
lurah di beberapa tempat di daerah Jawa Timur menurut pengetahuan masyarakat
setempat adalah disebabkan perbuatan teluh dari calon lawannya. Segala sesuatu
akibat yang berupa kecelakaan sehingga korban cacat seumur hidup atau mati
disebabkan pengaruh perbuatan teluh, terutama bag! masyarakat sudah merupakan
hal biasa.
Bagi mereka yang memerlukan tukang
teluh untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadinya teluh merupakan sarana
yang ampuh. Bahkan dianggap paling efesien dan tidak ada resiko untuk
berhadapan dengan pihak yang berwajib. Sekalipun perbuatan teluh adalah dosa,
namun perbuatan teluh masih ada yang memerlukannya. Teluh memiliki arti dan
peranan yang sangat penting dikalangan masyarakat tertentu berkaitan dengan
masalah kuat tidaknya keyakinan beragama dan juga perasaan kesusilaan
masyarakat. Khususnya bagi pihak korban teluh merupakan suatu mala petaka yang
dapat terjadi setiap saat dan tidak dapat diduga sebelumnya. Bahkan bagi
penegak hukum teluh merupakan suatu misteri karena ia tidak tampak, tidak
terbukti dan tidak dapat dideteksi baik sgbelum, pada saat dan. sesudah
perbuatan teluh dilakukan.
Teluh bagi
khususnya penegak hukum merupakan suatu tantangan dan sekaligus penghinaan wdi
muka umum terhadap kepolisian oleh karena ia merajalela tanpa seorang petugas
kepolisian dapat menangkap, memBAP dan selanjutnya mengajukan ke sidang
pengadilan. Dampak negatif terhadap masyarakat adalah bahwa merajalelanya
perbuatan teluh telah menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi kewibawaan
dari peran penegak hukum sebagai sarana bagi ketertiban, kepastian, dan untuk
mencapai tujuan keadilan. Di lain pihak, teluh telah mengakibatkan timbulnya
anarki di kalangan anggota masyarakat yang telah dibuktikan dengan diajukannya
kasus-kasus pembunuhan terhadap tukang teluh ke pengadilan. Di lain pihak,
mereka yang menyuruh melakukan teluh tetap terlepas dari jangkauan yuridiksi
dan berkeliaran bebas di masyarakat.
Di abat ke-20
ini dikenal sebagai abad modern dimana kecanggihan ilmu pengetahuan dan
teknologi menguasai segala bidang kehidupan masyarakat. Sulit untuk dapat diterima
adanya perbuatan teluh dengan segala akibatnya sebagaimana telah diuratlcan
dimuka. Namun demikian, di lain pihak mempersoalkan masalah ini sebagai suatu
sikap ilmiah yang selalu ingin mengetahui tingkat kebenaran yang dapat diukur
dengan rasio. Bahkan saya berpendapat masalah ini merupakan suatu tantangan dan
bahkan kajian menarik, ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan yang bersifat
rasional terhadap suatu kasus.
Analisis Teori Kontrol Sosial dan Anomi
Terhadap Masalah Teluh
Analisis
kriminologi bertitik tolak dari kasus pembunuhan tukang teluh yang terjadi pada
tahun 2006 di Kabupaten Jember (no. Perkara: 884/Pid.B/2006/Pn.Jr.) dan tahun
2004 di kabupaten Banyuwangi (No. Perkara:860/Pid.B/2004/Pn.Bwi.). Fakta yang
terungkap dari dua kasus tersebut di atas diketahui bahwa pelaku pembunuhan
tukang teluh pada umumnya lebih dari seorang, bahkan merupakan satu kelompok
tertentu, kadang-kadang warga satu desa. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga
korban teluh dan anggota kelompok lain yang merasakan adanya ancaman dan
gangguan dari praktaek teluh dimaksud. Sekalipun diantara para pelaku terdapat
mereka yang melakukan pembunuhan karena imbalan sejumlah uang akan tetapi
sebagian besar motivasi adalah karena kebencian terhadap praktek teluh yang
dilakukan korban. Bahkan dikalangan masyarakat dimana korban berasal terdapat
kepuasan dan rasa aman dengan dihilangkannya nyawa tukang teluh tersebut.
Dalam
pemeriksaan kepolisian dan pengadilan terungkap bahwa para tersangka dalam
pembunuhan tukang teluh secara terus terang dan tidak berbelit-belit telah
mengakui semua perbuatan membunuh tukang teluh tersebut. Bahkan keluguan para
tersangka dan tingkat pendidikan yang pada umumnya tidak tinggi menyebabkan
proses pemeriksaan terhadap mereka tidak mengalami kesulitan. Dari berita acara
proses pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik terungkap bahwa tersangka
mengetahui bahwa perbuatan mereka melanggar hukum namun mereka tetap
melakukanya dengan alasan untuk kepentingan ketentraman seluruh warga di
wilayah yang bersangkutan.
Tukang teluh rata-rata berusia
lanjut dan hubungan sosial dengan lingkungannya kurang baik. Hal ini disebabkan
oleh sikap dan tingkah laku mereka pada umumnya sombong dan kurang mau bergaul
dengan lingkungannya. Terkadang sering melakukan tindakan sewenang-wenang
dengan keandalan ilmu teluhnya. Kasus pembunuhan tukang teluh di Kabupaten
Banyuwangi antara lain ada yang bermotif balas dendam karena istri terdakwa
direbut oleh tukang teluh. Sementara itu menurut berita acara pemeriksaan para
tersangka di muka penyidik korban mengakui dihadapan para tersangka bahwa ia
telah meneluh beberapa orang dan pada saat ia diculik oleh para tersangka
diakui masih ada sebagian orang lagi yang akan diteluh.
Dilain pihak
dari proses peradilan dan berita acara pemeriksaan tersangka oleh penyidik
tidak terdapat sedikitpun petunjuk mengenai identitas orang yang menyuruh
tukang teluh telah melakukan pekerjaannya. Berdasarkan perbuatan teluh pada umumnya berasal
dari desa yang bersangkutan atau pihak ketiga dari luar kota.
Berdasarkan informasi diketahui
bahwa pada umumnya perbuatan jahat tukang teluh disangkal oleh para kiayi yang
memiliki ilmu penangkal. Jika penangkal melalui white magic berhasil dengan baik maka mereka cukup puas dan tidak
melaporkan kepada polisi dan persoalan dianggap selesai. Namun, jika terdapat
korban teluh itu mati maka pada umumnya mereka enggan untuk melaporkan kepada
aparat penegak hukum kecuali hanya dengan satu cara yaitu membunuh tukang teluh
tersebut.
Mereka yang melakukan pembunuhan
terhadap tukang teluh dan kemudian menjadi kasus pembunuhan serta diajukan ke
pengadilan adalah termasuk keluarga korban dan warga setempat yang merasakan
kehidupan mereka tidak aman dan tidak tentram serta terancam setiap saat oleh
tukang teluh. Subyek III mengetahui bahwa korban adalah pelaku pembunuhan atau
yang membuat derita korban teluh namun subyek II sulit membuktikannya. Bahkan
subyaek III mengetahui bahwa polisi tidak dapat menangkapnya karena hukum yang
berlaku memerlukan adanya bukti-bukti yang cukup. Keadaan ini terus berlangsung
sehingga subyek III mengalami suatu keadaan dimana menurut persepsinya
penanganan yuridiksi terhadap orang yang mereka anggap sebagai tukang teluh
tidak menentu bahkan tidak ada sama sekali.
Subyek III mengalami keadaan yang
disebut anomi dimana subyek III tidak lagi mengetahui norma mana yang harus
dipegang atau menjadi acuan. Dalam keadaan yang sedemikian subyek III akan
berpedoman kepada norma-norma yang dianut para leluhur yaitu bahwa ilmu-ilmu
setan harus dimusnakan. Hal ini berarti tukang teluh diperlakukan dengan
cara-cara khusus, dengan mempergunakan sepotong kayu waru kemudian dikuburkan.
Bahkan ada kepercayaan untuk memusnakan ilmu teluhnya kepala dan tubuh korban
harus terpisah.
Berdasarkan uraian diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa bagi para pelaku membunuh tukang teluh adalah
satu-satunya cara yang paling tepat untuk menghindarkan korban-korban teluh
yang lebih banyak dan sekaligus menghilangkan keresahan warga yang
bersangkutan.
Berdasarkan
analisis tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa dalam kasus teluh telah
terjadi pergeseran peran diantara para subyek yang terlibat. Sebelum diajukan
ke pengadilan subyek II merupakan pelaku sedangkan diajukan kepengadilan
menjadi korban.
Sebaliknya subyek III sebelum
diajukan ke pengadilan merupakan korban namun sesudah diajukan ke pengadilan
menjadi pelaku. Namun demikian identitas subyek I tetap tidak terungkap
sekalipun perkara sudah diperiksa di pengadilan. Berkaitan korban dengan
masalah teluh dapat dikatakan bahwa subyek korban kejahatan dan kekerasan
dilain pihak subyek III dapat dikatakan merupakan korban dari yuridiksi
sehingga keadaan subyek III merupakan akibat dari suatu disoperation.
Berdasarkan hasil analisis mikro
sebagaimana telah diuraikan dapat dikemukakan bahwa masalah teluh diakhiri
dengan cara-cara yang menyimpang dari prosedur yang telah ditetapkan. Faktor
penyebab utama keadaan dimaksud adalah sistim pembuktian menurut hukum acara
pidana yang tidak dapat menjangkau perbuatan tukang teluh. Bahkan tampak sistem
pembuktian menurut hukum acara pidana yang berlaku lebih terampil dalam
menjaring pelaku-pelaku pembunuhan terhadap tukang teluhnya. Dengan demikian
jika secara yuridis kasus teluh dipandang selesai dengan dijatuhkannya pidana
terhadap pelaku-pelaku pembunuhan tukang teluh maka dilihat secara sosiologis
dan kriminilogis kasus teluh di masyarakat tidak perna terselesaikan secara
tuntas. Hal terakhir disebabka.n pertama, subyek I tidak pernah benar-benar
menjadi salah satu pihak yang ikut berpekara. Alasan kedua, teluh berkaitan
dengan kepercayaan yang bersifat mistis dan juga merupakan media yang efektif
untuk menghilangkan nyawa orang tanpa meninggalkan jejak dan sulit dideteksi
oleh pihak yang berwajib. Teluh ternyata menarik banyak permintaan dan
dibutuhkan oleh kalangan masyarakat tertentu.
Alasan ketiga, kedudukan masalah
teluh dimasyarakat kita dan proses penyelesaiannya berkaitan erat dengan
tingkat kesusilaan masyarakat. Kiranya dalam segi yuridis apalagi pada tingkat
kepidanaan tampaknya penyelesaian masalah teluh masih jauh dari memadai. Bahkan
pada tingkat keperdataan penyelesaian masalah teluh antara para pihak tetap
sulit dapat diselesaikan.
Apabila analisis makro ini benar
maka dapat disimpulkan bahwa masalah teluh -khususnya pada masyarakat Jawa Timur-
memiliki kualitas yuridis yang sangat rendah dalam arti masih diselesaikan
secara mistis dan tradisional serta lebih banyak tergantung pada tingkat
perasaan kesusilaan masyarakat. Kualitas yuridis masalah ini dapat ditingkatkan
sampai tingkat yusditisi jika para pihak yang terlibat berkehendak untuk dapat
menyelesaikannya melalui proses perdamaian antara subyek I dengan subyek III.
Teluh dalam Skets Delik
Pada umumnya
teluh berada pada tangan ahlinya yang biasanya dilakukan oleh apa yang disebut
sebagai dukun teluh. Ada yang menyebutkan dukun teluh tapi ada pula yang
menyaebutnya tukang santet. Kalau orang ingin menyantet seseorang maka ia harus
memakai jasa seorang dukun santet. Walaupun kebanyakan dukun tidak mau mengakui
bahwa ia seorang dukun santet tapi kenyetaannya di Jawa Timur seperti telah
diuraikan dalam bab terdahulu tidak sulit orang menjumpai tukang santet
harganya cocok. Dukun santet atau tukang santet dapat disebut sebagai pelaku
delik tapi ia tidak berdiri sendiri karena ia bekerja atas pesanan orang lain.
Jika delik penyertaan biasanya ia sebagai terbujuk dan kliennya sebagai
pembujuk.
Ilmu yang dimiliki oleh dukun santet
biasanya disebut ilmu sihir atau magic. Lazimnya magic dibagi atas sejumlah
bentuk-bentuk khusus seperti magic simpatetis misalnya seorang suami berlagak
di depan istri supaya istrinya muda tergoda, magic protektif gunanya untuk
menghindari malapetaka, magic destruktif atau bisa disebut magic hita.m yaitu
magic merugikan orang lain entah dengan santet entah dengan sihir misalnya
dengan menusuk-menusuk gambar atau boneka. Dukun duduk ditengah-tengah sajen
membentuk setengah lingkaran bersandingkan sajian makanan untuk roh-roh jahat
sambil membaca mantra memohon kehancuran korbannya. Sajen itu terdiri dari
sebongkah kemenyan yang utuh, sesekall beberapa benda berupa jerami setan
seperti cermln mungkin disertakan juga. Kalau orang mermaksud membunuh
korbannya dan tidak sekedar membuat sakit ia harus meremukkan kemenyan itu
menjadi butir kecil-kecil lalu dibungkus dengan kain mori putih diikat di suatu
tempat seolah-olah itu adalah mayat.
Magic produktif atau magic putih untuk memperoleh tanah subur atau panen besar
dan magic prognatis untuk meramal masa depan.
Ada tiga jenis sihir yang paling
ganas yakni tenung, jengges, dan santet. Gejala-gejala santet ialah muntah
darah, mulas yang nyeri sekali di perut, demam yang naik turun tanpa sebab yang
jelas. Dalam jengges, upacara seperti itu dilakukan dengan menggunakan beberapa
benda seperti paku, rambut, pecahan kaca, dan potongan-potongan besi serta
jarum. (mungkin akibatnya seperti fenomena manusia kawat dari Kalimantan)
Dukun mengucapkan mantera dan
memusatkan perhatian pada maksud jahatnya dan dengan demikian mampu membujuk
makhluk-makhluk halus agar memasukkan benda-benda itu ke perut si korban dan
akan terdengar tetusan mendadak di sekelilingnya dan kemudian jatuh sakit
parah. Kadang-kadang sepotong kawat panjang digunakan untuk dimasukkan kedalam
lengan atau kaki si korban dengan demikian bisa membuatnya lumpuh.
Istilah santet kadang-kadang juga
disebut tenung dengan cara memasukkan benda-benda asing ke perut korban tetapi
sesungguhnya ia merupakan satu jenis sihir dimana dukun harus mendekati si
korban sendiri dan merebanya dengan biji-biji sambil berkali-kali membaca
mantera dalam hatinya tanpa bersuara si korban kemudian terkena diare yang tak
bisa diobati.
Di Jawa Timur, seperti telah
diuraikan terlebih dahulu ada 4 (empat) jenis teluh yang ganas yaitu teluh
wrejit, teluh ganggong, teluh buncit, teluh ceceban. Teluh-teluh jenis ini
kiranya masih serumpun seperti yang telah saya teliti di Jember dan Banyuwangi.
Teluh wrejit, teluh ganggong, teluh
buncit dapat kita skets dalam delik-delik pembunuhan yakni mulai pembunuhan
biasa sampai ke delik pembunuhan berencana. Dikatakan sebagai delik pembunuhan
berencana karena perbuatan itu dilakukan dalam keadaau tenang-tenang yakni
pelaku bisa menimbang dulu dan memerlukan waktu.
Delik seperti saya gambarkan diatas
mungkin dapat kita skets dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II dan III
yakni sebanyak jenis teluh yang sulit diinventerisasi Karena permintaan teluh
sangat tergantung pada klien.
Di Jawa Timur teluh-teluh yang
menonjol adalah teluh yang berkenaan dengan delik pembunuhan atau penganiayaan.
Tapi anehnya banyak dukun teluh yang terkenal di masyarakat namun tiada
seorangpun terjaring sebagai terdakwa untuk diproses perkaranya di pengadilan.
Ini bukan saja sulit untuk menemukan pembuktiannya disamping teluh itu tidak
nalar tapi orang yang percaya kepada teluh mudah saja menetralisasikan ancaman
dan bahaya teluh itu dengan dukun yang ilmu magicnya lebih luhung dari dukun
teluh semula.
Orang boleh saja berteori bahwa
dengan alat bukti seperti tercantum dalam pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana seorang dukun teluh dapat saja dijadikan terdakwa kemudian
dijatuhi hukuman. Namun, keyakinan hakim seperti yang dituntut dalam pasal 184
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga sangat memegang peranan karena
alat bukti dan keyakinan merupakan dwitunggal dalam menjatuhkan putusan.
Keyakinan hakim bahwa teluh itu tidak nalar, tidak masuk akal karena hanya
sekedar kebohongan belaka maka delik yang menggunakan sarana sarana teluh
menjadi impian juga. Namun dukun teluh yang menjengkelkan ini masih bisu
diperangkap oleh hukum pidana kita melalui pasal 372 lihat juga pasal 546 Kitab
Undang-Undang Hukum.
Pasal ini tidak ada di Negri Belanda
tetapi merupakan pasal yang spesifik untuk indonesia sebagai negara jajahannya.
Kata-kata seperti "hij die
zoogenaamde.... dan seterusnya pada ayat satunya dan kata-kata h~f die onderwits geef in elmoes's of
kunsten..... " pada ayat duanya memperlihatkan kepribumiannya.
Apakah delik ini bermaksud
melindungi kemurnian Tuhan Yang Maha Esa dan menolak penduaan tuhan atau hal
ini hanya sekedar bertentangan dengan kesusilaan seperti yang diatur dalam
titel VI buku ke in Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kita harus hati-hati menempatkan
delik ini dalam rasio pembentukan hukum pidana yang akan datang, karena suatu
penempatan delik ini sebagian bertentangan dengan kesucian agama adalah
berlainan dengan delik yang bertentangan dengan kesusilaan atau kepatuhan
walaupun kepatuhan dan kesusilaan iti biasa mengalir dari kitab-kitab suci.
Orang yang beriman kuat dan percaya
kepada ke-Esaan Tuhan tidak mungkin bisa membagi kekuasaan Tuhan itu dengan roh
halus atau roh jahat, dayang, dedemit, gondoruwo, dan lain-lain semacam itu.
Membagi kekuasaan Tuhan dengan roh halus atau roh jahat adalah penajisan
terhadap Kitab Suci tantang ke-Esaan Tuhan. Tapi kita tidak boleh lupa karena
tidak dapat kita ingkari dan itu menjadi kenyataan bahwa magic putih dan magic
hitam merupakan penumpang gelap dalam batin seseorang dari sebagian anggota
masyarakat.
Tiap usaha terang-terangan untuk
mengorganisir pendapat umum terhadap seorang tertuduh akan hampir pasti
gagalnya. Demikian pula di Jawa Timur orang tidak pernah mendapati seseorang
yang mempunyai reputasi luas sebagai dukun santet. Sekalipun beberapa dukun
dicurigai sebagai yang sangat bersedia melakukannya namun keberadaan mereka ini
tidak perna diasingkan.
Dalam keadaan tertentu slhir blsa
jadl perbuatan yang mendekati sah walaupun secara moral masih bisa
dipertanyakan sebagaimana kasus induk semang dimana seseorang telah kecurian
dua kali dalam sebulan oleh ulah sang bapak, suatu pukulan yang benar-benar
berat untuknya baik secara finansial maupun psikologis.
Apakah hal-hal yang berkenan dengan
magic, guna-guna, sihir, dan ngelmu ini perlu kita kriminalisasikan atau
deskriminalisasikan. Untuk itu kita harus mendengar terlebih dahulu pendapat
dari para pemuka agama tapi jangan lupa pendapat-pendapat aliran kepercayaan.
Sudah dapat kita perkirakan bahwa
dua golongan agama ini kiranya sulit dapat dibayangkan temu pikirannya karena
golongan islam atau golongan kristen yang sangat patuh pada Kitab-Kitab sucinya
sudah pasti menganggap bahwa perbuatan-perbuatan tersebut sebagai pci uuatan
kafir. Sedangkan aliran-aliran kepercayaan mungkin sebaliknya terutama mengenai
magic putih.
Analisa Penetapan Pasal 351, 338, dan 340 KUH Pidana
Hukum dipandang
sebagai panglima dalam tata pemerintahan sehingga di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara harus ada penegakan hukum. Penegakan hukum dilakuakan terhadap
tindak pidana, diantaranya tindak pidana penganiayaan bahkan sampai pembunuhan.
Tindak pidana penganiayaan atau pembunuhan akhir-akhir ini banyak terjadi
karena timbul suatu perbedaan pendapat, iri, sakit hati, dendam, dan sebagainya
yang menimbulkan tindakan dari seseorang kepada orang lain di luar batas
kewajaran. Jenis tindak pidana yang sering terjadi adalah pemukulan,
pengeroyokan, pembunuhan, dan bahkan lebih ngeri lagi adalah sampai terjadi
mutilasi. Biasanya, tindak pidana pemukulan dilatar belakangi sakit hati
sedangkan pengeroyokan tindak pidana yang sudah direncanakan dan biasanya menggunakan
alat baik senjata tajam maupun menggunakan kayu, balok, atau alat lain yang
bisa melukai atau mencederai korbannya. Pelaksanaan pidana terhadap tindak
pidana penganiayaan tentu ada hambatan yang terjadi.
Kasus seperti yang diuraikan di
atas, setidaknya masih bisa dijerat oleh pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP.
Karena unsur-unsur yang dibutuhkan untuk suatu penyelidikan perkaranya bisa
terpenuhi. Berbeda dengan penganiayaan atau pembunuhan dengan menggunakan media
teluh. Korban merasakan penderitaan, baik secara fisik maupun psikis bahkan
sampai menemui ajalnya. Namun, orang yang dicurigai melakukan perbuatan teluh
tidak pernah sampai bisa dijerat dengan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP,
karena tidak cukup bukti. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang penerapan
pidana terhadap tindak pidana penganiayaan, pembunuhan dengan media teluh di
Pengadilan Negeri Kabupaten Banyuwangi maka analisis persoalan tersebut
disajikan dalam penelitian ini.
Proses peradilan pidana adalah suatu
tahapan penyelesaian suatu perkara pidana secara menyeluruh mulai dari tahap
pemeriksaan pendahuluan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi),
yang melibatkan aparat lembaga peradilan mulai dari Penyelidik/Penyidik, 3aksa
Penuntut Umum, Hakim, dan Eksekutor sesuai dengan tugas dan wewenangnya
masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peradilan adalah merupakan suatu
instrumen bagi tatanan kehidupan sosial yang diposisikan sebagai mekanisme yang
bersifat terstruktur dan sistematik yang diharapkan mampu memulihkan hak-hak
atau kepentingan seseorang, kelompok masyarakat, badan hukum akibat dari adanya
perbuatan atau tindakan orang lain dan atau adanya suatu keputusan/kebijakan
pejabat publik.
Untuk melakukan proses anatomi
terhadap suatu kasus atau perkara-apapun perkaranya-idealnya harus
dilakukan proses kajian terhadap kasus tersebut secara menyeluruh. Artinya,
setiap tahapan proses mulai dari tahap awal hingga tahap akhir harus dilakukan
kajian secara cermat, dan menggunakan pisau analisis teoritik yang dirujukkan
pada prinsip-prinsip yang bersifat normative dengan pendekatan secara formal justice, social justice serta
moral justice. Dengan demikian, basil
kajiannya akan lebih komprehensif dan akurat.
Perbuatan menghilangkan nyawa orang
lain dengan sengaja sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP. Demikian juga
dirumuskan dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP dalam hal ini dirumuskan dengan
sengaja merusak kesehatan yang mengakibatkan matinya orang lain berarti
kualifikasi hukumnya sama. Perbuatan yang berakibat adanya suatu kematian orang
lain. Perbuatan ini tentunya ada unsur kesamaan atau minimal bersinggungan erat
dengan ketentuan pasal-pasal pidana lainnya yang berdekatan, misalnya
Pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP), Penganiayaan yang menimbulkan
kematian (Pasal 351 ayat (3) KUHP) dan Pembunuhan biasa yaitu Pasal 338 KUHP.
ketiga pasal tersebut merupakan pasal-pasal pidana yang berdekatan dan samasama
mengatur tindak pidana yang menimbulkan kematian dengan kata lain, terdapat
unsur kesamaan, walaupun ada unsur lain yang membedakan.
Kasus yang
selama ini terjadi di Kabupaten Banyuwangi, yakni perbuatan menyakiti,
menganiaya, bahkan sampai pada meninggalnya korban dengan menggunakan media
teluh adalah merupakan kasus yang lazim diketahui oleh masyarakat umum.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan-dan pasti- telah diketahui oleh
aparat penegak hukum. Namun, selama yang diketahui oleh peneliti, pelaku
kejahatan teluh tidak pernah dimejahijaukan.
Bebasnya pelaku teluh dari jerat
hukum, tidak terlepas lemahnya pembuktian. Karena tidak terpenuhinya
unsur-unsur yang harus ada untuk menuntut pelaku secara pidana. Lemahnya
pembuktian tersebut dan tidak sampainya pelaku ke meja hijau, menyebabkan
timbulnya kecurigaan pada masyarakat terhadap penegak hukum. Sehingga yang
terjadi adalah "pengadilan masyarakat" terhadap seseoramg yang
dicurigai sebagai tukang teluh.
Perilaku masyarakat secara kolektif
untuk "menghakimi" seseorang yang dicurigai sebagai tukang teluh
adalah tindakan anarkis yang secara hukum tidak dapat dibenarkan. Namun, untuk
memenuhi rasa aman, dan rasa keadilan dalam masyarakat, peristiwa seperti itu
sering terjadi. Sebab, mengharapkan penegak hukum melakukan tindakan hukum
terhadap pelaku teluh juga hanya sebatas harapan. Alasan klasik yang selalu
dikemukakan adalah tidak cukup kuat-bukti untuk menyeret seseorang yang
dicurigai sebagai pelaku teluh ke meja hijau.
Sebenarnya, penyelesaian perkara
teluh, bisa saja dilakukan dengan pendekatan norma adat (social justice).
Namun, kalau cukup bukti, sedikitnya ada 2 pasal yang bisa digunakan untuk
menjerat pelaku. Yakni, pasal 340 dan 351 ayat 3 KUHP, masing-masing tentang
pembunuhan berencana dan penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya orang
lain. Untuk pasal 340, ancaman pidananya bisa hukuman mati, penjara seumur
hidup, atau pidana penjara 20 tahun. Sedangkan pasal 351 ayat 3 ancaman
hukumannya 7 tahun penjara. Selain itu, tidak menutup kemungkinan polisi akan
menjerat tersangka dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman
pidana 15 tahun penjara.
Melihat dampak
yang ditimbulkan dari perbuatan tukang teluh, sebenarnya perbuatan yang
dilakukan oleh tukang teluh adalah kejahatan berat. Konvensi Jenewa menegaskan
bahwa pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat dapat diletakkan pada
orang-orang yang: 1. memenuhi semua unsur tindak pidana, 2. memerintahkan
dilakukannya tindakan tersebut, termasuk dalam bentuk percobaan, 3. gagal
mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya,
sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan
kejahatan tersebut, 4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut,
baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menyediakan sarana
untuk penyelesaian kejahatan tersebut, 5. langsung berpartisipasi dalam
merencanakan atau menyepakati kejahatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan,
6. secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan
tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 7. mencoba melakukan kejahatan itu dengan
memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya.
Uraian analisis
terhadap penerapan pasal 351, 338, dan 340 KUHP terhadap pelaku teluh di atas,
memberi wawasan kepada kita bahwa, sekalipun perbuatan yang dilakukan oleh tukang
teluh masuk pada kategori kejahatan berat, namun karena tidak cukupnya bukti
secara sah dan meyakinkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, maka pelaku teluh tidak bisa diajukan ke meja hijau dengan tuntutan
pasal-pasal tersebut di atas. Pelaku teluh masih bisa bebas berkeliaran tanpa
tersentuh "tangan hukum". Akhirnya pengadilan masyarakatlah yang
berbicara tentu saja dengan segala konsekwensi yang harus diterima oleh pelaku
pengadilan masyarakat tersebut.
Pandangan dan Sikap Masyarakat Terhadap Pelaku Teluh
Untuk
mendeskripsikan tentang bagaiman pandangan dan sikap masyarakat Kabupaten
Banyuwangi terhadap fenomena pelaku teluh tersebut, dalam penelitian ini akan
peneliti bedakan menjadi dua kelompok masyarakat. Yakni, pertama masyarakat
yang "melek hukum", dalam hal ini aparat penegak hukum seperti,
polisi, jaksa, pengacara, dan hakim. Kedua adalah masyarakat awam yang akan
dibedakan menjadi dua yakni agamawan dan masyarakat biasa.
Pandangan dan Sikap Penegak Hukum
Fenomena pelaku
teluh di kalangan masyarakat Kabupaten Banyuwangi adalah hal biasa.
Tukang/palaku teluh di kabupaten tersebut cukup banyak dan bervariasi ditinjau
dari segi usia. Seperti telah diuraikan di atas bahwa, teluh dengan segala
macam atau jenisnya, alat-alat sebagai media yang digunakan serta akibat yang
ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan oleh tukang teluh sungguh luar biasa
bahkan bisa dikategorikan kejahatan berat Namun, karena perbuatan dilakukan
dengan menggunakan media gaib, sehingga tidak dapat dijerat dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini karena teluh ddak bisa dibuktikan
secara logis dan ilmiah.
Kesimpulan
Dari analisis
yang telah peneliti uraikan di atas, yakni mengenai penerapan pasal 351, 338,
dan 340 KUHP terhadap pelaku praktek teluh serta tanggapan masyarakat Kabupaten
Banyuwangi terhadap masalah tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Praktek teluh, dengan segala motivasi dan akibat yang ditimbulkannya, meskipun melihat dampak yang ditimbulkan bisa dikategorikan sebagai kejahatan berat. Namun, tidak pernah bisa dituntut secara pidana dengan menggunakan pasal 351, 338, atau 340 KUHP. Karena dunia teluh adalah dunia magic (ilmu hitam) sehingga, tidak bisa dibuktikan secara logis dan ilmiah.
- Sikap dan tanggapan masyarakat terhadap pelaku teluh bisa diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok besar yaitu:
- Kelompok penegak hukum, kelompok ini menganggap bahwa tukang teluh dengan segala motivasi dan aktifitasnya tidak ada.
- Kelompok masyarakat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
- Agamawan (kiyai), berpendapat bahwa tukang teluh dengan segala aktifitas dan motivasinya memang ada. Hal ini merujuk pada Alquran QS. 113.
- Masyarakat umum, menganggap tukang teluh itu memang ada karena teluh hidup di antara mereka.
Saran
Kewajiban untuk
melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu
ketentuan yang telah dirumuskan dalam berbagai konvensi yang pada dasarnya
berisikan asasasas antara lain: Praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence); Persamaan di muka hukum (equality before the law); Asas
legalitas (principle of legality); Ne
bis in idem (double jeopardy); Asas
tidak berlaku surut (non retroactivity), kecuali
apabila ada perubahan W yang meringankannya. Dalam beberapa kasus tukang teluh
yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi, hendaknya aparat penegak hukum
menggunakan pendekatan sosial atau pendekatan moral demi memenuhi rasa aman dan
rasa keadilan di tengah masyarakat, sehingga tindakan anarkhis terhadap orang
yang dicurigai sebagai pelaku teluh bisa dihindarkan.
Penyuluhan
secara intensif melalui media-media dakwah agar masyarakat melaksanakan
ketentuan agama yang dianutnya secara benar, hendaknya terus-menerus dilakukan
oleh pihak pengak hukum dengan koordinasi dengan tokoh-tokoh agama, dan
tokoh-tokoh masyarakat. Sehingga, pelaku teluh bisa diminimalisir dalam
melakukan aktifitasnya, baik atas kehendak sendiri maupun atas suruhan orang
lain dalam menganiaya atau membunuh korbannya dengan kemampuan magic yang
dimilikinya.
Daftar Bacaan
- Amiriddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafika Persada
- Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Jakarta: Eresco
- Departemen Agama RI dan Kerajaan Saudi Arabia. 1997. Alquran dan Terjemahnya. Madinatul Munawwaroh: Mujamma’ AI-Malik Fahd li-Tiba' Almush-haf As-Syariif.
- Depdiknas. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- ---------------- 1998. Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.
- Gosita, Arit. 1983. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Presindo. Harjowirojo, Marbangun. 1983. Manusia Jawa. :Idayu.
- Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
- Moleong, Lexy Y. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
- Sianipar, T. Alwisol. 1989. Dukun, Mantra, dan Kepercayaan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Karya Grafikatama.
- Tholip, M. 1986. Pergaulan Bebas Prostitusi dan Wanita. Yogyakarta: Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar