Selasa, 07 Februari 2012

Aspek Hukum Perkawinan Kawin Lari di Singaraja Bali


Oleh :
Prof. Dr. Made Warka, SH., MHum
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Nyoman Ratih Noviyanti
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Pernah muat di Jurnal Ilmu Hukum MIMBAR KEADILAN
ISSN : 0853-8964, Edisi : Januari-Juni 2010



Abstrak
Menurut hukum agama hindu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan kuturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka).
Menurut agama hindu perkawinan ngerorod tetap diakui sah, dan keberadaan lembaga perkawinan ngerorod telah diakui oleh pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 43/PN.DpslPdtl1976. Perkawinan ngerorod membawa akibat hukum dalam perikatan adat baik menurut agama, tata administratrf menjamin kepastian hukum.
Kata Kunci: Kawin Lari, Adat, Agama Hindu

Latar Belakang Masalah

Di dalam membicarakan perkawinan belum lengkap apabila belum dibicarakan tentang agama hindu, baik yang berhubungan dengan perkembangan hindu di Indonesia dan perkawinan di Bali. Kedua hal itu erat sekali sangkut pautnya, untuk memperdalam pengertian tentang agama hindu itu harus disertai dengan adanya pemeluk agama yang terpusat pada suatu pulau, yaitu Bali. Orang-orang Bali yang beragama hindu tersebar agak luas di Indonesia, maka sumber aktivitas kehidupan agama ini masih terpusat di Bali. Bila disini akan dibicarakan soal kawin lari, maka pembicaraan itu terbatas dalam soal-soal yang erat hubungannya dengan agama hindu.
Agama Hindu telah tumbuh dan berkembang dalam proses perkawinan yang harmonis, yang awal mulanya masih samar-samar yang makin lama makin terdapat corak yang lebih hingga sampai sekarang ini. Pertumbuhannya ini erat sekali dengan perkembangan kawin lari pada masyarakat di Bali, sebab semua kasta yang ada di pulau Bali dalam masa-masa dahulu itu dipegang oleh masyarakat yang beragama hindu. Di dalam perkawinan pada Undang­Undang No. l Tahun 1974 mengalami proses transisi dalam lapangan agama hindu, sehingga proses ini tidak berlaku di pulau Bali, maka kasta agama hindu dan kepercayaan dari masyarakat Bali terus berkembang.
Di dalam agama hindu dikenal pula tentang aturan adat. Adat dalam suatu agama hindu adalah mutlak, perlu, fungsional. Fungsionalnya karena adat bertujuan mengadakan pembaharuan pembaharuan di lapangan kerohanian masyarakat di Bali. Persoalan adat di dalam agama hindu terpusat pada perkawinan lari di Bali, hakekat hidup, dan merupakan aturan adat dari masa ke masa.
Untuk mengerti kawin lari lebih jelasnya, maka terlebih dahulu kita akan melihat beberapa sistem susunan kasta yang peranannya menjadi dasar di dalam agama hindu. Orang - orang yang beragama hindu di Bali, di dalam perkembangan sejarahnya dikala berhubungan sebagai suami isteri yang tidak mau mengikuti aturan adat. Hal ini dapat terjadi karena orang­orang Bali mempunyai pola-pola kehidupan yang berbeda dengan kehidupan masyarakat lain. Pola ini akan berakibat terhadap berkembangnya suatu ajaran agama hindu yang terdapat di pulau Bali, yang tidak sama persis dengan sejarah induknya. Ketidaksamaannya itu sudah tentu di bidang perkawinan yang bersifat kasta berlainan, tetapi di dalam perbaikan yang bersifat persamaan juga terdapat dalam bidang susunan kasta.
Kedudukan agama Hindu di dalam masyarakat Bali sangat jelas. Kasta di rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar tepat dan sesuai dengan ajaran agama hindu, susunan kasta yang dipakai oleh masyarakat Bali adalah tepat dan jitu. Di dalam ajaran agama hindu, sudah jelas adanya fakta bahwa kehidupan beragama dibawah naungan susunan kasta, dimana tidak ada perlakuan yang menganaktirikan suatu golongan pendukung agama hindu, malahan kasta memberikan suatu stimulasi yang positif dan konkrit untuk setiap agama hindu dalam mengembangkan ajaran-ajarannya.
Ajaran agama dan aturan adat mempunyai jalinan yang sangat erat. Dasar dari aturan di dalam agama Hindu ialah di dalam praktek kehidupan yang sewajarnya harus diikuti dan dipakai sebagai pedoman yang mutlak. Ajaran agama hindu sangat perlu bagi kehidupan individu dan masyarakat Bali, sebab ia merupakan tali halus yang menuntun kehidupan individu dan masyarakatnya kearah keserasian tindakan dan tingkah laku. Tanpa adanya adat di dalam suatu kehidupan masyarakat, maka akan mengalami bencana dan kehancuran. Ditinjau dari segi agama, maka adat itu tidak lain dari pada materialisasi keagamaan di dalam tingkah laku penganutnya.
Bagi masyarakat yang beragama Hindu percaya bahwa hakekat perkawinan itu adalah sama dari waktu ke waktu, dan dari masa ke masa. Agama hindu menggambarkan hakekat perkawinan itu dengan bermacam-macam cara. Hakekat perkawinan dapat menterjemahkan perkawinan itu melalui kasta yang berlainan. Disini digambarkan bahwa pada saat-saat yang tertentu dan didalam fungsi-fungsi yang tertentu perkawinan seakan-akan digambarkan sebagai hubungan suami isteri itu sendiri.
Di dalam agama hindu, pencurahan rasa keharmonisan di dalam keluarga sangat penting sekali peranannya. Pencurahan perasaan yang semacam ini akan mudah terjalin, kalau diikat oleh persamaan kasta.
Mengenai masalah kawin lari di Bali sampai saat ini belum ada peraturan perundang­undangan yang mengatumya, karena kebutuhan masyarakat Bali untuk menyelesaikan masalah perkawinan masih didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di daerah setempat dan pada hukum agama hindu, seperti yang di kemukakan oleh Soeripto dalam tulisannya bahwa :
Hukum adat adalah hukum asli Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis, yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari, dalam hubungannya antara yang satu dan yang lain baik di kota-kota maupun dan lebih-lebih didesa-desa, yaitu hukum yang didasarkan atas hukum melayu Polinesia ditambah dengan disana-sini hukum agama.[1]
Apabila perselisihan mengenai kawin lari tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka masyarakat akan membawa perkaranya ke depan pengadilan desa adat. Pengadilan desa adat adalah pengadilan rakyat yang terbuka, dan masyarakatlah yang menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar yang bersangkutan.
Menurut masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis atau hubungan darah, ada 3 macam yaitu :
1. Hubungan darah menurut garis laki-laki.
2. Hubungan darah menurut garis perempuan.
3. Hubungan darah menurut garis Ibu dan Bapak.
Hubungan darah menurut garis laki-laki, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. Kalau hubungan darah menurut garis perempuan, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan, sedangkan hubungan darah menurut garis Ibu dan Bapak, dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.
Susunan masyarakat hukum adat Bali adalah berdasarkan keturunan laki-laki atau Bapak (saking kepurusa). Pada umumnya disebut dengan istilah tunggal sanggah, tunggal dadya, atau tunggal kawitan. Istilah tersebut berarti suatu kekeluargaan yang mempunyai ketunggalan hapak leluhur dan arwahnya selalu dipuja dalam tempat pemujaan yang berupa sanggah atau merajan, pura dadya dan pura kawitan. Hukum adat Bali yang berkewajiban untuk menyelenggarakan upacara-upacara adat serta upacara. pengabenan terhadap orang tua yang meninggal dan mengurus harta kekayaan adalah anak laki-laki.
Berlainan kasta dalam kawin lari dalam hukum adat Bali kurang menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh susunan masyarakat hukum adat Bali yang patrilinial, sehingga yang berhak sebagai ahli waris hanyalah kaum laki-laki saja.
Perkawinan menurut hukum adat Bali menggunakan jujur, apabila perkawinan itu dilakukan dengan cara merangkat yang acara ngeluku atau mepelaku dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan ditolak. Jujur ini dimaksudkan sebagai pemberian sesuatu yang bersifat magis dari pihak keluarga calon suami kepada wali atau orang tua calon isteri, dengan maksud agar calon isteri lepas atau keluar dari ikatan keluarganya dan masuk kedalam kasta calon suaminya. Setelah perkawinan dilangsungkan, maka isteri diberi hak dan kewajiban untuk ting,gal dirumah suaminya dan berkewajiban pula untuk melakukan pemujaan kepada leluhur dalam lingkungan keluarga suaminya.[2]
Sistem kekeluargaan di Bali adalah patrilinial yang bexalih-alih. Dasac dari sistam kekeluargaan yang beralih-alih itu tergantung dari bentuk perkawinannya. Di Bali terdapat bentuk perkawinan yang lain, yaitu perkawinan yang tidak menggunakan jujur dan disebut perkawinan nyeburin.
Adapun maksud perkawinan nyeburin tersebut adalah untuk memasukkan calon suami itu kedalam kasta calon isteri dan menganggap seolah-olah ia sebagai perempuan, sedangkan calon istri sebagai laki-laki. Hal ini disebabkan karena dalam masyarakat hukum adat Bali dan anak laki-laki merupakan penerus keturunan otang tuanya. Apabila sa.tu keluarga hanya mempunyai anak perempuan saja, maka agar ada yang meneruskan keturunan orang tuanya, anak perempuan itu akan dikawinkan secara nyeburin sehingga tidak ada pembayaran jujur.
Perkawinan nyeburin seperti sudah disebut diatas status anak parempuan yang di tingkatkan menjadi anak laki-laki disebut sentana rajeg atau sentana luh[3] dan anak laki-laki yang mengawini anak perempuan tersebut statusnya sebagai anak perempuan. Jadi dalam perkawinan ini si suami masuk kedalam kasta isterinya dan keluar dari ikatan kekeluargaan asalnya.
Hukum perkawinan hindu menganut azas monogami yang membolehkan poligami. Azas ini menganut laki-laki sudra hanya boleh kawin dengan seorang wanita sudra. Pengkhususan azas ini pada sudra karena didasarkan pada kepentingan ekonomi sosial yang lemah dimana berdasarkan pengertian wama yang dianut menurut weda didasarkan atas pertimbangan sosial ekonomi dan tugas-tugas khusus, sudra yang dianggap sosial ekonominya paling lemah, karenanya untuk kebahagiaan hidup  keluarga dilarang melakukan  perkawinan  dengan  wanita  bukan  warnanya,  tetapi  sebaliknya  bila  laki-laki  Waisya  atau  Ksatria  atau  Brahmana  dilihat  dari segi sosiat ekonominya iebih kuat. Secara sosial ekonomi berkemampuan memelihara isteri dengan ketentuan maksimum adalah empat. Azas ini menurut hukum hindu disebut azas anuloma (menurut aturan garis menurun) sebagai lawan pratiloma (menurut urutan garis mendaki).

Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali

Perkawinan merupakan pangkal dari suatu peristiwa kehidupan manusia dan hal ini tidak dapat disangkal karena manusia lahir tidak mungkin tanpa suatu perkawinan. Dengan demikian perkawinan merupakan suatu proses hidup bagi seseorang agar seseorang dapat mencapai hidup yang bahagia. Dalam memberikan pengertian tentang perkawinan para sarjana memberikan pengertian yang berbeda-beda. Menurut Subekti : "Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama".
" Dalam bahasa di Bali perkawinan itu disebut pula dengan nganten, dan dalam bahasa di Bali halus perkawinan itu disebut dengan pawiwahan"
Demikian pula dalam awig-awig di Bali disebutkan "pawiwahan inggih punika patemoning purusa lawan pradana malarapan kayun suka lila kadalurin upasaksi sekala Ian niskala".
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan berarti perikatan perdata tetapi perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.
Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut pula upacara-upacara adat keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan baik hubungan manusia dengan Tuhannya maupun hubungan manusia dengan manusia dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di akhirat.
Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu suatu urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat, dan urusan pribadi.
Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yakni sanak (hubungan anak-anak bujang gadis), dan rasan tuha (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami isteri). Setelah adanya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua menurut hukum adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan.
Ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum dalam perikatan adat seperti tentang kedudukan anak dan pengangkat anak, kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lainnya dan harta perkawinan tergantung pada bentuk dan sistem perkawinan adat setempat. Menurui hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kediaman dan kedudukan suami (Batak, Lampung, Bali).
Perkawinan semenda dimana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman isteri (Minangkabau, Sumendo Sumatera Selatan) dan perkawinan bebas (Jawa mencar, mentas) dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan suami isteri bebas menentukan tempat kedudukan mereka, kehendak mereka.
Perkawinan menurut hukum agama merupakan perbuatan yang suci yaitu suatu prikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan merupakan suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan takwanya apa yang seharusnya dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama. Jadi perkawinan dalam arti ikatan jasmani dam rohani berarti suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang setamat bukan saja di dunia tetapi juga di akhirai, bukan saja lahiriah tetapi juga batiniah. Bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa, sehingga kehidupan dalam keluarga rumah tangga itu rukun dan damai dikarenakan suami dan isteri serta anggota keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama. Jika perjalanan hidup berumah tangga sejak semula sudah berbeda arah kerohanian walaupun dalam arah kebendaan sama, maka kerukunan duniawi akan datang masanya terancam keluluhan. Rumah tangga yang baik hendaknya sejak semula sudah dalam satu bahtera hidup yang sama lahir dan bathin. Menurut hukum islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan terima (Kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat, jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah karena bertentangan dengan hadist Nabi Muhamma,d Saw, menurut hukum Kristen Katolik perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya dan tidak dapat ditatik kembali. Jadi perkawinan menurut agama Kristen Katolik adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara kedua suami isteri tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu sah apabila mereka sudah dibaptis.
Menurut Hukum Hindu perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka. Perkawinan yang dilaksanakan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti, jika perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah.
Menurut hukum perkawinan agama Budha keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal 1 dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berlandaskan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga bahagia yang diberkahi oleh Sang Hyang Adi Budha / Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan Bodhisatwa dan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan agama Budha Indonesia.
Ketentuan Undang-Undang No. l tahun 1974 pasa166 memberi peluang untuk berlaku aturan hukum tak tertulis seperti hukum adat dan hukum agama. Ketentuan pasal 66 dalam Undang-undang tersebut berbunyi sebagai berikut :
Peraturan-peraturan lain yang dimaksud dalam pasa166 tersebut adalah hukum agama dan hukum adat. Petunjuk lain yang memperkuat ketentuan pasa166 di atas adalah pasal 2 ayat 1 yang memuat ketentuan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.[4]
Salah satu wujud dari hukum adat Bali tercermin dalam adat pawiwahan / perkawinan.
Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan masyarakat Bali dipakai bentuk-bentuk bahasa. Penggunaan bentuk-bentuk bahasa itu tidak boleh lepas dari situasi kelaziman yang ada dalam perkawinan. Macam-macam perkawinan adat Bali itu adalah ngerorod, memadik, jejangkepan, nyangkring, ngodalin, tetagon, ngunggahin, dan melegandang. Dari beberapa jenis perkawinan adat Bali, perkawinan adat yang paling umum dilakukan sampai saat ini adalah perkawinan ngerorod dan memadik.
Dalam hukum adat Bali yang berlaku di Bali terdapat jenis jenis perkawinan, dimana dalam perkawinan tersebut diperbolehkan dan diiarang terutama untuk memperoleh istri. Untuk perkawinan yang diperbolehkan antara lain ngerorod, memadik, dan nyeburin, sedangkan perkawinan yang dilarang adalah melegandang.

Syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat Bali yaitu :

1.  Syarat umur : untuk dapat kawin, maka wanita dan pria harus sudah dewasa. Di dalam pergaulan masyarakat pada umumnya dikenal " menek bajang ", setelah wanita datang bulan pertama, dan setelah laki-laki berubah suara (ngembakin). Wanita yang tidak pernah datang bulan, dianggap tidak memenuhi syarat untuk kawin. Secara fisik dia dianggap tidak sehat, dan secara religius dianggap letuh atau kuning.[1]
2.    Syarat kesehatan : Hukum adat Bali khususnya dilihat dari sudut agama hindu, maka syarat kemampuan melakukan senggama dapat dipandang sebagai syarat penting. Orang-orang yang mengalami gangguan fisik / psikis sebagai berikut dilarang kawin :
-     pria unpoten.
-     gila sakit ingatan.
-     wanita kuming (vagina sempit).
-     pria basur, buah pelir besar.
Dalam kitab Kutara Menawa Dharmasastra yang diperlukan secara mutatis mutandis di dalam kerajaan majapahit (LJndang-undang Majapahit) pasal 169 menyebutkan : seorang wanita berhak memhatalkan perkawinan apabila ternyata :
-     sakit kuming. - Impoten. - Banci.
-     Punya penyakit budug perut, paha, dan pantat.
-     Punya penyakit ayan dan gila.
3.      Hubungan kekeluargaan :
-    Dihindari perkawinan gamia atau sumbang, misalnya seorang pria kawin dengan seorang wanita yang berkedudukan selaku nenek atau bibi setingkat sepupu atau sepupu dua kali.
      Dihindari pula perkawinan misan laki (antara anak-anak dari laki-laki bersaudara kandung), yang sering disebut "mepaid engad" (tarik-tarikan sembilu). Perkawinan "apit-apitan" (tetangga sederet jarak satu tetangga), dianggap sebagai sebuah pikulan, keluarga ditengah seumpama pemikul dan yang kawin termasuk keluarga sebagai barang pikulan, yang bisa jatuh, juga dihindari.
-   Dilarang secara tegas perkawinan Gamya Gumana : menurut perkawinan Residen Bali dan Lombok 1927, perkawinan Gamya Gumana meliputi : perkawinan antara orang­orang yang berkeluarga dalam garis keturunan kencang keatas dan kebawah, perkawinan antara mertua dan menantu, perkawinan antara bapak tiri dengan anak tin atau antara ibu tiri dengan anak tlri. Perkawinan antara paman (bibi) dengan keponakan perempuan (lai), perkawinan antara saudara dan perkawinan antara seorang lelaki dengan bibinya derajat sepupu satu.
4.      Syarat yang cukup penting adalah, adanya kebebasan kehendak dari mereka yang akan kawin. Kebebasan kehendak, artinya bahwa akhirnya kedua belah pihak kemudian menyatakan did dengan tegas berkehendak untuk kawin. Ketidak setujuan orang tua dalam hal ini dapat digugurkan.
Sahnya perkawinan menurut hukum agama hindu yaitu : VE Korn mengemukakan di Bali tidak dapat terdapat kepastian, kapan perkawinan itu dianggap sah. Tetapi Pengadilan Raad Kerta pada jaman Belanda, lazim menjatuhkan putusan bahwa perkawinan itu sah setelah dilakukan upacara mebyakala. Yurisprudensi Raad Kerta kemudian mendapat dukungan dari Parisada Hindu Dharma, dimana sahnya perkawinan adalah setelah dilakukan upacara mebyakala.
Pada upacara mebyakala yang lumrah disebut upacara "pesaksi" bernilai "puput" (selesai) dilakukan kegiatan religius :
-   Dihaturkan sajen ke surya dan Pamerajan serta sembahyangnya kedua mempelai kebawah Jong Hyang Widhi dan Bhatara (ri) merupakan unsur Desa Saksi.
-    Hadirnya wakil pemuka masyarakat (prajuru desa, klian) selaku unsur manusa saksi.
-    Diayabnya sajen byakala oleh yang bersangkutan selaku penyucian dan unsur Bhuta saksi.
-  Diayabnya sajen Sesayut oleh kedua mempelai selaku upaya keagamaan untuk mengikat pribadi yang bersangkutan guna menjadi tunggal selaku suami isteri (ardananareswari).
Inilah yang dimaksudkan dengan upacara mebyakala untuk sahnya suatu perkawinan, sedangkan upacara dan upakara lainnya dianggap sebagai tambahan saja. Upacara tambahan, lanjutan itu misalnya upacara Mejauman / ngaba jaja / ketipat bartal yang bernilai magis religius "pamitan kepada orang tua dan leluhur yang sudah disucikan (pemerajan)". Dalam upacara ini dilakukan serentetan acara-acara adat dengan segala sarana dibawa oleh keluarga mempelai laki-laki kerumah mempelai perempuan, berupa jalan jalan dengan perlengkapannya

Susunan Kasta di Bali

Istilah ini, adalah istilah Portugis. Jadi bukan istilah asli yang mula-mula hidup untuk menunjukkan praktek hidup kemasyarakatan Hindu. Di dalam masyarakat Hindu terdapat sistem warna, sebab warna menyatakan adanya perbedaan kedudukan atau golongan. Di dalam sejarah telah kita lihat adanya tingkatan-tingkatan atau golongan-golongan masyarakat yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan kepentingan.

Di dalam Hinduisme, kita melihat adanya kategori masyarakat yang dinamakan warna, yang jumlah pokoknya ada empat. Jumlah ini kemudian menjadi bertambah banyak, karena diantaranya itu adalah akibat percampuran-percampuran yang tidak dapat dihindarkan di dalam pmses hidupnya masyarakat. Empat kasta atau Catw kasta itu ialah : Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Mula-mula timbulnya warna ini adalah karena perbedaan tugas-tugas hidup manusia di dalam masyarakat. Yang termasuk dalam golongan Brahmana ialah mereka para alim ulama, pendeta-pendeta. Ksatria ialah, mereka golongan pemegang tarnpuk pemerintahan dan ketentaraan, Waisya ialah mereka golongan podagang-pedagang dan tukang-tukang, dan            Sudra ialah mereka golongan petani dan rakyat bawahan. Lama-kelamaan kasta ini menjadi turun-temurun dengan aturan-aturan yang keras. Pada dasarnya setiap warna itu mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Keaslian kasta harus dipertahankan, karena adanya kategori-kategori yang keras , maka hal ini dinamakan kasta. Kasta ini menggambarkan susunan masyarakat itu sebagai bambu yang beruas-ruas, yang tiap ruasnya itu dibatasi oleh batas yang tertutup rapat. Istilah Triwangsa itu ada 3, maka yang dimaksudkan dengan istilah kasta ialah : golongan Brahmana, Ksatria, Waisya. Istilah Triwangsa menunjukkan adanya derajat yang tertentu bagi orang-orang yang termasuk di dalamnya.

Orang-orang yang tidak termasuk Triwangsa di Bali disebut wong jaba, artinya orang­orang yang tinggal diluar dari Triwangsa. Sebabnya ialah karena Triwangsa ini mempunyai tempat tinggal dengan sebutan yang tertentu misalnya : gria, puri, jero, dan sebagainya.

Di dalam praktek kehidupan sehari-hari, maka kasta di Bali mempunyai perbedaan yang besar dengan yang ada di tanah asalnya . Hubungan sosial di antara kasta-kasta di Bali tidaklah kaku, tetapi penuh dengan toleransi yang besar. Watak Indonesia asli mengubah aturan-aturan yang diterimanya dari kebudayaan lain dengan menyesuaikan kepada kepribadiannya sendiri. Di dalam pergaulan sehari-hari ada sikap eksklusif dari kasta yang satu terhadap kasta yang lainnya, dan yang ada ialah pergaulan biasa sebagai makhluk sosial yang wajar. Untuk dapat mengetahui siapa-siapa yang termasuk di dalam kategori kasta yang tertentu, maka dari (uar tampak di dalam nama-nama, umpamanya dalam sebutan muka seperti : Ida Hagus (Brahmana), Tjokorde, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Dewa (Ksatria), I Gusti (Waisya), I dan Ni (Sudra), di samping itu tampak pula dal-am hat penggunaan bahasa, yang biasa dan halus di antara hubungan kasta-kasta itu, di antara yang satu dengan yang lainnya. Perkembangan masyarakat modern yang dinamis ini, sedikit banyak membawa perubahan pandangan di dalam hubungan kasta-kasta, terutama dalam segi yang agak lebih lanjut, umpamanya dalam lapangan perkawinan.[6] Yang nyata di dalam realita kemasyarakatannya ialah adanya hubungan yang harmonis di antara anggota-anggota masyarakat tanpa terlalu banyak terikat dengan segi-segi formil dari ke kastaan itu sendiri.

Bentuk dan Macam-Macam Perkawinan di Bali

Dalam masyarakat etnis Bali dikenal dan diakui adanya sistem warna (wangsa). Sistem warna (wangsa atau kasta) ini dibedakan menjadi empat (catur warna) yang meliputi : warna Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Sistem warna ini dahulu disebut sistem kasta Sistem warna (wangsa) sangat berkaitan dalam masyarakat, seperti dalam hal pelaksanaan perkawinan karena pawiwahan yang dianggap ideal dalam masyarakat adat di Bali adalah perkawinan endogami warna (kasta) dan endogami dan.

Berkaitan dengan bentuk-bentuk perkawinan etnis Bali dapat dibedakan menjadi tiga :
(1). Pawiwahan / perkawinan alit / nista.
Setiap upacara yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali selalu berkaitan dengan upakara. Dalam "pawiwahan" / perkawinan alit upakara yang dipakai sangat sederhana, walaupun sederhana namun tidak mengurangi unsur-unsur inti atau penting yang ada dalam upakara tersebut, bentuk upacara ini dilakukan oleh masyarakat untuk menghemat biaya dan waktu.
(2). Pawiwahan / perkawinan madya
Selain pawiwahan / perkawinan alit (nista) juga terdapat perkawinan yang setingkat lebih besar pelaksanaan upakaranya disebut "pawiwahan" / perkawinan madya. Pawiwahan / perkawinan madya ini bisa dilakukan oleh keempat sistem warna / kasta masyarakat dan yang penting adalah kesiapan dan kesanggupan untuk melaksanakan upacara tersebut. Pelaksanaan upacara ini pula tidak mengurangi unsur-unsur inti atau penting isi upakara.
(3). Pawiwahan / perkawinan utama (Agung).
Pada zaman dahulu (zaman kerajaan) "pawiwahan / perkawinan utazna / agung hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki warna / kasta (brahmana, ksatria, waisya). Jenis tingkat pawiwahan inipun dilakukan oleh masyarakat antar warna / kasta setingkat. Namun sekarang setelah perkembangan zaman jenis pawiwahan ini bisa dilakukan oleh semua lapisan / jenis warna atau wangsa yang ada dalam masyarakat etnis Bali, karena asal mereka siap dan mampu melaksanakannya. Demikian pula para pendeta atau pinandita pun yang berfungsi sebagai "pemuput" pelaksana upacara tersebut bersedia melaksanakannya. Pelaksanaan pada pawiwahan / perkawinan utama agung ini tetap mengutamakan unsur-unsur inti atau penting isi upakara, walaupun terdapat banyak variasi / jenis upakara yang dipakai.

Bahasa Bali dalam Adat Pawiwahan / Perkawinan.

Pewarisan unsur-unsur budaya dan nilai kebudayaan yang tercermin dalam bahasa Bali sangat didukung oleh peranan bahasa ibu (bahasa Bali sebagai bahasa pertama) dalam keluarga. Peranan bahasa khususnya bahasa ibu (bahasa Bali), yakni selain sebagai bahasa pengantar dalam keluarganya juga sebagai pembentuk watak / jiwa keluarga yang akan mencenninkan identitas pribadinya sebagai suku Bali.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Bali dewasa ini mengajarkan anak-anaknya bahasa ibu sebagai bahasa pertama adalah bahasa Indonesia dan bahasa Bali atau bahasa asing sebagai bahasa kedua karena dalam bahasa Indonesia memiliki sistem yang sederhana dan tidak mengenal angkatan bahasa (unda usuk berbahasa) sehingga dengan mudah dapat mengajarkan anak-anaknya berbahasa atau berkomunikasi verbal.

Bahasa Bali yang digunakan dalam adat perkawinan di Bali adalah bahasa Bali yang memiliki tingkatan, seperti bahasa halus (halus singgih, halus sor, dan halus mider). Pemakaian bahasa yang memiliki tingkatan seperti ini biasanya dipakai dalan situasi resmi tradisional.

Pertimbangan pemakaian unda usuk (tingkatan) di dalam berbahasa Bali sebagai bahasa daerah khususnya dalam proses perkawinan adat terlibat beberapa penunjang sebagai pemicu berbahasa Bali. Beberapa pertimbangan pemakaian bahasa Bali itu adalah sebagai berikut : (1) Dirasakan lebih sopan, (2) Merasa lebih hormat, (3) Merasa akrab (kekeluargaan), (4) Lawan bicara ngerti bahasa Bali.

Kesetiaan berbahasa Bali akan mengacu pada kemandirian bahasa lebih ditekankan penggunaan bahasa Bali, baik bahasa halus, madya, bahasa biasa (kepara) maupun bahasa kasar sesuai dengan situasinya. Kebanggaan yang mengacu pada sikap bangga terhadap identitasnya akan dititik beratkan pada bahasa biasa (kepara) dan kasar secara tepat dan mengacu pada pemakaian bahasa Bali yang baik dan benar. Kesadaran akan norma bahasa lebih difokuskan pada penggunaan bahasa Bali dengan pilihan kata (diksi) yang tepat, cermat, dan situasi tutur yang cocok.

Berdasarkan uraian diatas, masyarakat yang paling memahami dan menggunakan keempat unsur itu dalam berbahasa Bali dalam adat perkawinan di Bali adalah masyarakat yang berfungsi dan terlibat dalam proses perkawinan adat tersebut seperti pada pengeluku /pemadik. Para pelibat bahasa dalam proses perkawinan adat itu memiiiki repertaor yang tinggi (mapan).

"Repertaor adalah penguasaan (khasanah) bahasa atau penguasaan bahasa ibu dan bahasa lain”.[7] Secara lebih umum penguasaan (khasanah) terhadap bermacam-macam bahasa dari masyarakat bahasa seperti para pengeluku / pemadik bisa berperan sebagai variabel operatif karena anggota-anggota masyarakat memiliki berbagai bahasa dapat dengan mudah berkomunikasi satu dengan yang lainnya menggunakan kode-kode atau subkode-kode yang ada."

Pemakaian bahasa yang wajar menekankan bahwa hanya salah satu bahasa atau variates bahasa yang akan dipilih oleh kelas-kelas interlokutor tertentu pada jenis;jenis topik yang tertentu".[8]

Perkawinan dalam masyarakat hukum adat Bali yang menganut agama Hindu Dharma merupakan peristiwa yang sangat penting. Tujuan perkawinan menurut ajaran agama Hindu Dharma adalah untuk memperoleh keturunan dan hidup besbahagia. Masyarakat hukum adat Bali lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dari pada anak perempuan, sebab di samping sebagai penerus keturunan juga dihubungkan dengan kepercayaan bahwa anak laki-laki dapat membukakan jalan ke surga untuk arwah orang tuanya dengan cara mengabenkan jenazah orang tuanya.

Ditinjau dari tata cara pelaksanaan perkawinan itu, di Bali terdapat berbagai bentuk dan macam perkawinan. Bentuk perkawinan menurut hukum adat Bali, yaitu :
1. Perkawinan dengan jujur (patukon wad[9] patukon luh ; aji gama)
a.  yang dibayar secara kontan.
b.  yang dibayar kemudian hari.
2.  Perkawinan tanpa jujur.
Ad.l.a.    Perkawinan dengan jujur yang dibayar secara kontan.
Dalam perkawinan ini, keluarga pihak laki-laki harus menyerahkan jujur atau patokan wadu kepada orang tua atau wali dari pihak perempuan. Jujur atau patukon wadu itu biasanya berbentuk uang. Maksud sebenarnya dari pembayaran jujur hanyalah sebagai perlambang untuk melepaskan si perempuan dari ikatan kekeluargaan orang tuanya, supaya dapat masuk ke dalam kasta suaminya.
Ad. l.b.   Perkawinan dengan jujur yang dibayar kemudian hari, yaitu dengan memakai jaminan yang diberikan oleh keluarga pihak laki-laki.
Di Bali disebut perkawinan "matunggu" atau perkawinan "nunggonin". ArN perkawinan matunggu ini adalah si suami harus tinggal di rumah isterinya sesudah di langsungkannya perkawinan yang maksudnya adalah untuk membantu mengerjakan sawah ladang mertuanya selama adik-adik isterinya belum dewasa. Apabila adik-adik isterinya telah mampu bekerja, maka suami isteri tersebut kembali ke rumah orang tua pihak laki-laki.
Ad.2.      Perkawinan tanpa jujur.
Di Bali disebut dengan perkawinan "nyeburin", di daerah Buleleng perkawinan nyeburin disebut dengan istilah "pahid bangkung”[10] Dalam perkawinan ini, si suami masuk ke dalam kasta isterinya, oleh karena itu si suami harus memuja di sanggah atau merajan isterinya dan tidak lagi memuja di sanggah atau merajan orang tuanya.

Apabila suatu keluarga mempunyai beberapa anak perempuan dan tidak mempunyai anak laki-laki, maka agar ada yang meneruskan keturunan orang tuanya, salah satu anak perempuannya akan ditingkatkan statusnya sebagai anak laki-laki yang disebut "sentana rajeg" atau "sentana luh", sedangkan calon suaminya berstatus sebagai perempuan.
Tiga hari setelah upacara perkawinan, biasanya diadakan upaeara pemelepehan (mejauman ; di Singaraja dikenal dengan istilah "bebas") ke rumah keluarga suami yang maksudnya adalah untuk melepaskan si suami dari ikatan keluarga asalnya.
Dalam perkawinan nyeburin, status suami adalah sebagai isteri, karena ia beristerikan sentana rajeg.

Macam-macam perkawinan di Bali :
1. Perkawinan dengan cara mepadik atau menrinang.
Macam perkawinan ini didahului dengan peminangan dari keluarga pihak caton suami (purusa) kepada keluarga pihak calon isteri (pradana). Apabila pinangan diterima, maka pada hari yang telah ditentukan kaluarga pihak calon suami datang dengan membawa pengikat yang berupa paweweh dan basan pupur untuk diserahkan kepada kaluarga pihak calon isteri. Paweweh ini biasanya berupa sejumlah uang, dan basan pupur terdiri dari seperangkat pakaian wanita beserta perhiasan, sirih, pinang dan lain-lain.
Perkawinan dengan cara mepadik ini berlaku pada tiap perkawinan yang disetujui oleh orang tua kedua belah pihak. Dengan selesainya upacara penyerahan paweweh dan basan pupur, berarti kedua calon mempelai telah bertunangan (magegatan). Kemudian di tentukanlah waktu upacara perkawinan akan dilaksanakan, dimana keluarga pihak lak-taki menjemput calon mempelai perempuan tepat pada hari pelaksanaan upacara perkawinan yang telah disepakati oleh keluarga dua belah pihak.

2. Perkawinan mejangkepan.
Arti kata mejangkepan disini adalah menjodohkan. Perkawinan mejangkepan berarti menjodohkan dua orang anak laki-laki dan perempuan yang didahului dengan perundingan antara orang tua pihak laki-laki dengan orang tua pihak perempuan. Jika kesepakatan telah dicapai, maka pada hari yang tetah ditentukan, dilakukanlah peminangan dan pemberian paweweh serta basan pupur seperti yang dilaksanakan pada perkawinan dengan cara meminang atau mepadik.
Tujuan dilangsungkan perkawinan mejangkepan dalam suatu keluarga adalah untuk mencegah anak perempuannya kawin keluarga. Karena itu anak perempuan tersebut dijodohkan dengan laki-laki dari satu merajan atau satu kasta.
Perkawinan mejangkepan ini tidak sama dengan perkawinan nyeburin, dan juga ada sedikit perbedaan dengan perkawinan mepadik atau meminang. Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa perkawinan mejangkepan ini juga melalui pinangan dari orang tua pihak laki-laki kapada orang tua pihak perempuan, dan setelah kawin si perempuan (si isteri tinggal di rumah suaminya). Status laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dengan cara meminang ialah tetap berstatus sebagai laki-laki dan perempuan, sedangkan dalam perkawinan nyehurin si suami berstatus sebagai perempuan, dan si isteri berstatus sebagai laki-laki.
Beda antara perkawinan mepadik atau meminang dengan perkawinan mejangkepan adalah bahwa dalam perkawinan mepadik, sebelum diadakan peminangan, antara calon   mempelai  laki-laki  dan  calon  mempelai  perempuan  sudah  saling  mengenal  (istilah sekarang
adalah berpacaran), sedangka.n dalam perkawinan mejangkepan pada umumnya antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan belum pernah berkenalan secara aluab. Jikalau sudah satu pihak dari calon mempelai tidak setuju dengan hasil perundingan orang tuanya, maka tujuan perkawinan dapat dibatalkan dan biasanya dapat mengakibatkan hubungan antara dua keluarga tersebut manjadi retak.
Pada masa sekarang, perkawinan mejangkepan tidak harus dari satu merajan atau satu kasta. Dapat pula si anak perempuan itu dijodohkan dengan laki-laki yang berasal dari lain merajan namun masih sederajat dan biasanya hubungan antara orang tua laki-laki dan orang tua perempuan sudah saling mengenal sebelum diadakan peminangan.

3. perkawlnan merangkat atau ngerorod yaitu dengan cara lad bersama.
Perkawinan ini dilakukan dengan cara "lari bersama", dimana si laki dan wanita yang akan kawin, pergi bersamaan (biasanya secara sembunyi-sembunyi) meninggalkan rumahnya rnasing-masing dan bersembunyi pada keluarga lain (pihak ke III) dan menyatakan did sedang ngerorod.

4. Perkawinan nyerodin atau anglangkahi karang ulu.
Si suami mempunyai kasta yang lebih tinggi dari pada kasta isterinya. Akibat perkawinan tersebut adalah kasta si isteri menjadi turun dan sederajat dengan kasta suaminya. Sebagai sanksinya, si isteri dikeluarkan dari lingkungan keluarganya dan gelar kebangsawanannya dicabut. Pada zaman dahulu perkawinan ini disebut perkawinan anglangkahi karang ulu. Suami isteri tersebut harus diselong yaitu dibuang keluar pulau Bali, akan tetapi sejak tahun 1949 tidak lagi dikenakan sanksi selong.
Dalam perkawinan ini tidak ada acara meminang, tetapi dilakukan dengan cara merangkat. Sebelum diadakan acara perkawinan, calon mempelai perempuan terlebih dahulu diangkat sebagai anak oleh orang yang kastanya sederajat dengan kasta calon suaminya (biasanya dari keluarga calon suaminya), agar kastanya dapat sederajat dengan kasta suaminya dan nama si perempuan diganti sesuai dengan kasta suaminya. Misalnya nama semula adalah Sri Ayu Wartini, setelah kawin menjadi I Gusti Ayu Wartini.

5. Perkawinan sentana menantu (hanya berlaku pada kasta triwangsa).
Perkawinan ini biasanya terjadi di daerah Klungkung dan Jembrana. Di Klungkung disebut dengan istilah "sentana silidihi" dan di Jembrana disebut dengan istilah "sentana kepala dara atau sentana melabuh api"[11]
Dilaksanakan perkawinan sentana silidihi, karena suatu keluarga hanya mempunyai seorang anak tunggal dan merupakan anak perempuan. Maksud perkawinan ini adalah setelah terjadi perkawinan, si menantu laki-laki diangkat sentana tanpa melalui upacara pemerasan (suatu upacara yang dimaksudkan untuk memutuskan hubungan dengan keluarga asalnya).
Pengangkatan sentana menantu atau sentana kepala dara ini, pemberitahuannya hanya disiarkan dalam banjar atau desa. Tujuannya adalah sebagai pengganti mertuanya dalam melaksanakan ayahan desa. Setelah kawin, sentana menantu atau sentana kepala dam ini tinggal di rumah merluanya dan dianggap sebagai anak laki-lakinya.

6. Perkawinan Ngodalin.
Perkawinan ini dilakukan dengan cara membawa seorang gadis kecil kerumah si laki untuk dipelihara, dan diharapkan nantinya sudah besar dapat dikawini oleh laki-laki yang dipersiapkan oleh keluarga tersebut. Perkawinan seperti ini umumnya sudah atas perencanaan orang tua. Dalam pelaksanaannya sekarang ini sudah tidak diketemukan lagi.

7. Perkawlnan Tetagon.
Perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sudah cukup umur, tetapi setelah perkawinan, si pengantin masing-masing tetap tinggal dirumahnya sendiri. Perkawinan seperti ini sudah tidak ada lagi di Bali.

8. Perkawinan Ngunggahin.
Dalam perkawinan ini, wanita datang kerumah si laki-laki , minta supaya wanita itu dikawini. Biasanya hal ini terjadi dalam keadaan yang luar biasa. Si wanita sudah hamil, dihamili oleh laki-laki yang didatanginya, dan minta pertanggung jawaban, supaya wanita ini dikawini. Perkawinan semacam ini merupakan "penghinaan' terhadap wanita dan keluarganya. Tetapi masih dapat terjadi dalam keadaan seperti diatas.

9. Perkawinan Melegandang.
Pada masa lampau perkawinan ini sangat popular, dan menguntungkan bagi laki-laki secara biologis. Yang dapat digolongkan perkawinan dengan cara melegandang (dalam setiap waktu dan tempat) dengan sebutan yang berlainan, misalnya :
  • Alamat : mengambil wanita secara paksa untuk dikawini, dihadapan banyak kaum keluarganya.
  • Melegandang : mengambil perempuan secara paksa di jalan besar, dengan tujuan untuk dikawini.
  • Amerugul : mengambil perempuan waktu mandi secara paksa untuk dikawini.
  • Angeteli : mengambil perempuan yang sedang berjalan, bermain-main secara paksa untuk dikawini.
  • Amemengin : mengambil perempuan yang sedang berjalan, bermain-main secara paksa untuk dikawini.
  • Amilurut : mengambil perempuan secara paksa dipagi hari untuk dikawini.
  • Amerukunung : mengambil perempuan secara paksa ketika kencing, untuk dikawini.
  • Amerekeneng : mengambil perempuan secara paksa ketika berkutu, untuk dikawini.
  • Angunnguntul : mengambil perempuan waktu ada di sawah secara paksa, untuk dikawini.
  • Ameraga : mengambil perempuan secara paksa waktu ada di ladang untuk dikawini.
  • Amegati Apus : mengambil perempuan yang sudah bertunangan untuk dikawini. Anyerek : mengambil perempuan secara paksa, pada waktu tidur, untuk dikawini. 
  • Angrewek : mengambil perempuan secara paksa ketika perempuan itu begadang, untuk dikawini.
  • Angayub : mengambil perempuan secara paksa untuk dikawini, pada saat perempuan itu menonton.
  • Angrerangkat : melarikan orang perempuan larangan.
  • Atetawan : melarikan perempuan perawan secara paksa, untuk dikawini.
  • Angiser : mengambil perempuan secara paksa untuk kemudian dijual.
  • Ambaudang-gris : melarikan bini orang, sesudah lakinya dibunuh.[12]

Semua jenis perkawinan yang termasuk melegandang diatas, dilarang sejak dahulu dan diancam pidana. Pesuara 1910, dirubah serta diperbaiki tahun 1927, mengancam perkawinan melegandang dengan pidana penjara 3 tahun. Dalam praktek peradilan Raad Kerta, melegandang dijatuhi pidana cukup tinggi.

Akan tetapi dalam praktek perkawinan yang negatif ini, sering dipergunakan oleh laki-laki untuk "menjebak wanita" kehormatan wanita dirusak, sehingga terpaksa mau kawin, dari pada tercemar seumur hidup. Pada masa sekarang ini praktek perkawinan seperti ini sudah tidak ada lagi.

Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat Bali yang bersifat kekerabatan, adalah urnuk kebahagiaan rumah tangga keluarga / kerabat, untuk mempertahankan kewarisan.[13] Sistem keturunan dan kekerabatan antara kasta yang satu dan yang lain berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut masyarakat Bali, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat Bali diantara kasta yang satu dan kasta yang berlainan, daerah yang satu dan daerah lain yang berbeda, serta akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.
Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak lelaki (tertua) harus dilaticanalcan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran uang jujur), dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya.
Apabila keluarga yang bersifat patrilinial taidak mempunyai anak lelaki, maka anak perempuan dijadikan berkedudukan seperti anak lelski. Apabila tidak mempunyai anak sama sekali, maka berlakulah adat pengangkatan anak.

Tujuan Perkawinan Menurut Agama Hindu.

Menurut hukum agama hindu tujuan perkawinan adalah untuk mandapatkan keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka).[14]

Menurut hukum agama hindu perkawinan itu apabila dilakulcan kasta yang tinggi dengan kasta rendah yang memenuhi bertentangan untuk melakukan perbuatan itu. Tidak semua kasta mempunyai tugas yang sama terhadap yang melakukan tugas bukan wewenangnya ada ancaman hukumannya. Untuk perkawinan menurut hukum hindu ialah harus dilaksanakan berdasarkan kasta sama, jadi kedua calon suami isteri harus menganut kasta sama. Jika berbeda kasta antara calon suami isteri maka perkawina.n itu tidak dapat disahkan.

Selain apa yang diterapkan diatas sebelum ikatan perkawinan itu disahkan oleh kasta sama dalam memimpin upacara perkawinan, harus diperhatikan persyaratan, bahwa mereka yang akan kawin itu tidak terikat oleh ikatan perkawinan lainnya, mereka tidak berpenyakit jiwa, telah berumur 18 (delapan belas) tahun bagi pria, dan telah berumur 15 tahun bagi wanita, antara kedua mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat yang di(arang menurut ketentuan hukum agama hindu (sapinda).[15]

Tujuan Perkawinan Menurut W No.l  Tahun 1974

Di dalam pasal 1 UU No.l tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami isteri perlu Wing membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat menembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Sebagaimana dijelaskan dari pasal 1 tersebut bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama / kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir / jasmani, tetapi tetapi unsur batin / rohani juga mempunyai peranan yang Penting.
Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, di mana pemeliharaan dan pendidikan anak- anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan ketucunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluacga yang bersifat parental, (ke-orang tua-an). Hal mana berarti lebih sempit dari tujuan perkawinan menurut hukum adat yang masyarakatnya menganut sistem kekerabatan yang bersifat patrilinial (ke­bapakan) seperti orang Bali.

Pengertian perkawinan Ngerorod (kawin iari) di daerah Singaraja Bali.

Perkawinan Ngerorod dapat diartikan yaitu dengan cara kawin lari bersama, dilakukan oleh calon mempelai laki-laki dengan menga,jak calon isterinya untuk merangkat. Cara ini dilakukan karena orang tua pihak perempuan tidak menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan laki-laki caton suaminya, atau karena keluarga pihak laki-laki tidak mampu.
Tata cara perkawinan Ngerorod ini umumnya melalui tahapan dan syarat sebagai berikut :
  • Umur calon pengantin sudah untuk berkawin.
  • Perjalanan Ngerorod benar-benar ditakukan atas kehendak kedua belah pihak.
  • Tempat yang dituju, tempat bersembunyi mencari "perlindungan", dilakukan dirumah pihak ke tiga, minimal berlindung disitu selama tiga hari.
  • Secepatnya sesudah kedua calon pengantin mendapat perlindungan pada pihak ke tiga, diutuslah kerumah orang tua wanita (wiring) untuk memaklumi ngerorod itu. Utusan itu lazim disebut pejati, pemelaku, pengeluku, atau penyedek.
  • Orang tua wanita berhak untuk menyelidiki ngerorod itu, apakah betul-betul dilakukan secara tulus ikhlas oleh kedua calon pengantin itu.
  • Kalau ternyata ngerorod itu memenuhi syarat, maka setuju atau tidak setuju, gugurlah hak wiring orang tua wanita.

Upacara perkawinan ngerorod dapat dilaksanakan, apabila dalam perkawinan ngerorod ini calon pengantin terkejut oleh keluarga wanita, maka orang tua wanita dapat membawa pulang anak gadisnya, sehingga ngerorod itu menjadi batal.

Arti perkawinan menurut hukum agama hindu dan UU No.l tahun 1974.
Pemerintah sangat peduli terhadap sosial masyarakat, sehingga telah secara tegas pemerintah membuat Undang-Undang perkawinan sebagai sarana untuk membina Biopsykososial masyarakat, sehingga masyarakat merasa mendapatkan perhatian dari pemerintah serta mendapatkan rasa aman khususnya anggota masyarakat yang berkeinginan membangun rumah tangga melalui suatu ikatan perkawinan. Dengan demikian di dalam Undang-Undang tersebut telah dibuatkan suatu defmisi tentang arti suatu perkawinan sebagai berikut :
Undang-Undang RI No. l tahun 1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami isteni, masing-masing dengan swadharma mereka Keduanya (suami isteti) harustah saling isi mengisi, bahu           membahu membina rumah tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai seni berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan saling memperhatikan kehendak masing masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat dilaksanakan.
Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir batin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan / perumahan (yang semuanya dissbut artha). Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi Wasa (yang disebut Dharma), kasih sayang antara suami isteri, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut kama).
Perkawinan dalam masyarakat hindu mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam kehidupan manusia, karena pasangan pengantin telah memasuki "ashrama" kedua yaitu Grhasta Ashrama. Perakwinan juga sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak atau keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelrna kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sradha Pitra Yadnya (pengabenan) bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana (sorga).
Perkawinan di masyarakat hindu adalah sakral, artinya suci, karena dalam masa Grhasta manusia mulai mewujudkan dirinya sebagai manusia utuh yang berketuhanan. Di dalam perkawinan agama hindu yang ideal diawali dari perkawinan yang beriangsung tidak menyimpang dari kaidah-kaidah agama dan Undang-undang, serta disaksikan aleh tiga unsur yaitu : Bhuta saksi (mabeakala), Dewa saksi (mapiuning / muspa di sanggah pamerajan), dan Manusa saksi (kehadiran pemuka adat, desa, dan masyarakat). Kaidah-kaidah agama hindu yang dimaksud ada dalam kitab Manawadharmasastra yang merupakan kumpulan hukum hindu dan UU yang dimaksud adalah Undang-Undang Perkawinan No. l tahun 1974.
Dalam seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu dijelaskan bahwa " Perkawinan adalah ikatan sekala niskala antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaka rabi)".[16]
Azas-Azas Perkawinan Menurut UU No.l tahun 1974
Dalam undang-undang perkawinan ini telah dicantumkan azas-azas yang bisa diterima oleh semua suku di Indonesia serta dapat diberlakukan secara adil dan merata untuk masyarakat diseluruh Nusantara. Azas-azas perkawinan tersebut sebagai berikut :
  • Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
  • Suatu perkawinan dianggap sah bilamana dilakukan menurut Hukum Agama serta kebiasan­kebiasaan yang diatur menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
  • Setiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 4. Perkawinan menurut undang-undang ini memiliki azas monogami.
  • Calon suami isteri harus sudah pada tingkat dewasa, sekurang-kurangnya (untuk wanita 18 tahun, dan pria umur 25 tahun ) untuk bisa melangsungkan perkawinan.
  • Undang-undang memuat prinsip mempersukar terjadinya suatu perceraian.
  • Hak dan keawjiban suami isteri dalam kehidupan berumah tangga dalam lingkungan masyarakat diatur dalam undang-undang ini.


Sistem Kekerabatannya

Masyarakat Bali terbentuk dalam dua kelompok masyarakat yaitu disebut dan kecil dan dan besar. Dan kecil pada masyarakat adat di Bali adalah berupa dadia dan struktur dari "tunggal dadia" (dan kecil). Masyarakat adat di Bali berbeda-beda di pelbagai tempat pemujaan serta di masing-masing tempat kediaman terdapat "Kemulan Taksu", sedangkan dan besar memiliki warga lebih banyak daripada dan kecil. Antar warga dan besar kadang-kadang mereka saling tidak mengenal tetapi masih terikat oleh kesatuan pemujaan dalam bentuk "Panti" atau "Paibon" atau "Pemerajan Agung".[17]
Masyarakat adat di bali pada prinsipnya menganut sistem kekerabatan atau prinsip keturunan patrilinial. Prinsip keturunan patrilinial berarti menarik garis keturunan melalui garis purusa / laki-laki (ayah) yang akan membawa konsekwensi isteri dan anak-anaknya masuk ke dalam kerabat suami. Dalam konteks ini apabila sepasang suami isteri tidak mempunyai anak, pasangan tersebut dapat mengangkat anak (laki-laki) untuk melanjutkan kelangsungan hubungan kekerabatan mereka. Setelah prosedur pengangkatan anak Au sah menurut hukum adat Bali. Menurut kepercayaan masyarakat adat di Bali, hanya anak laki-laki yang dapat melakukan upacara "Yadnya" dan hanya anak (cucu laki) yang dapat membebaskan arwah leluhur dari siksaan neraka".[18]
Tetapi jika pasangan suami isteri tersebut hanya mempunyai anak / keturunan perempuan saja, maka dalam agama Hindu tidak menutup kemungkinan untuk memberikan jalan keluar yaitu dengan cara mengangkat status anak perempuannya menjadi status laki-laki yang disebut "putrika" menjadi "sentana rajeg". Tujuan dari pengangkatan status ini agar haknya sebagai ahli waris dan penerus keturunan ayahnya menjadi hilang.
Dalam hubungan ini sistem kekerabatan di bali dapat dikatakan sebagai sistem kekerabatan patrilinial yang beralih-alih yang berarti sistem ini mengubah sistem kekerabatan patrilinial menjadi matrilinial (garis keturunan ibu).
Dengan demikian, dalam adat pawiwahan / perkawinan di Bali ada yang benar-benar laki-laki sebagai purusa dan wanita sebagai purusa.
Selanjutnya perkawinan ideal akan terwujud bila tujuan perkawinan seperti yang diuraikan diatas dapat tercapai dengan baik. Faktor pendukung utama untuk tercapainya tujuan perkawinan adalah keimanan yang sama antara suami isteri, dengan kata lain suami isteri haruslah se- agama yaitu agama hindu.

Sistem perkawinan ngerorod (kawin lari) menurut hukum adat Bali dan UU No.l tahun 1974.
Dikalangan orang-orang Indonesia asli, terdapat tiga sistem perkawinan, yang dinamakan endogami, exogami, dan eleutherogami.
Dalam sistem endogami orang hanya diperbolehkan kawin dengan orang-orang suku keluarga sendiri, sebaliknya dalam sistem exogami orang diharuskan kawin diluar suku keluarganya sendiri, sedangkan sistem eleutherogami, tidak mengenal seperti kedua hal tersebut. Endogami jarang sekali terdapat di Indonesia menurut buku Van Vollenhoven yang terkenal dengan hukum adat hanya ada satu daerah yang secara praktis masih mengenal endogami adalah daerah Toraja.[19]
Menurut Tjokorda Istri Putra Astiti mengatakan :
Untuk di Bali ada daerah-daerah tertentu seperti : Tenganan Pageringsingan dikenal adanya larangan perkawinan dengan orang dari luar desanya hal mana kalau dilanggar mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak diajak lagi mekrama desa.[20]
Sistem perkawinan campuran disini dimaksudkan adalah perkawinan beda agama, beda suku. Menurut tatanan pelaksanaan sistem perkawinan campuran Agama Hindu memiliki beberapa tahap antara lain :
1. Persyaratan Administrasi.
2. Dilaksanakan Upacara Sudhi Wadani.
3. Upakara dan Upacaranya
4. Tata cara Pelaksanaan Sudhi Wadani

Berlangsungnya Perkawinan Ngerorod di Singaraja Bali.

Pada waktu berjalan berlangsungnya perkawinan ngerorod ini telah melalui tahap-tahap
yaitu :
  • Pihak pria mengirim utusan kerumah si wanita, untuk menyampaikan kepada orang tua si wanita, pengiriman utusan inilah disebut pejati. Agar meyakinkan bagi pihak orang tua si wanita biasanya mempelai Iaki-Iaki dan wanita membuat surat pernyataan kepada orang tuanya bahwa mereka kawin lari yang didasari oleh cinta sama cinta, pejati dilakukan dalam waktu 24 jam.
  • Di Bali, pejati dilakukan pada malam hari dengan membawa lampu yang dilakukan oleh 2-3 orang dengan berpakaian adat.
  • Dilain pihak tuan rumah pihak ke III hendaknya melapor pengrorodan tersebut kepada Pamong Desa baik itu Man Banjar maupun Bendesa Adat, untuk meneliti dan mengambil tindakan sesuai dengan hasil penelitiannya. Apabila benar-benar memenuhi syarat, maka ia harus melindunginya dan apabila tidak memenuhi syarat maka segera melaporkannya.
  • Apabila ada keragu-raguan dari pihak orang tua wanita maka orang tua si wanita datang mengecek, mengadakan penyelidikan kepastian pengrorodan yang bersangkutan. Penyelidikan orang tua / pengecekan ini disebut panegteg, namun apabila orang tuanya yakin bahwa anaknya ngerorod berdasarkan cinta sama cinta, panegteg tidak dilakukan lagi.
  • Selang tiga harinya datanglah tagi pihak Iaki-laki untuk mengadakan panglukuan. Ngeluku artinya permintaan maaf. Pada waktu Ngeluku biasanya membawa canang pengrawos. Pada waktu itu ditentukan kapan dilakukan mererasan, yakni pemberitahuan upacara perkawinan.
  • Setelah ada kesepakatan maka dilakukanlah mererasan, dimana dari pihak laki-laki datang dengan diiringi oleh beberapa orang keluarga sambil membawa beras 2 kg dan tetur 5 butir, material ini akan diberikan pada keluarganya yakni : 2 kg beras dan 2 butir telur untuk satu keluarga sebagai 'tanda bahwa keluarga tersebut anaknya melaksanakan perkawinan ngerorod. Disamping itu juga membawa canang pengrawos dan berbagai jajan secukupnya, dan selanjutnya diadakan pembicaraan mengenai dewasa perkawinan.
  • Untuk di daerah Singaraja Bali pada waktu mererasan membawa jajan, nasi, lauk pauk berupa ayam panggang secukupnya.
  • Setelah mererasan dilakukan dan telah pula dilakukan widi-widana, terakhir si pengantin datang kerumah orang tua wanita yang disebut matipat bantal. Disini si laki-laki bersama wanitanya membawa bermacam-macam jajan, membawa gibungan berupa nasi, sate, lawar, dan sebagainya tergantung permintaan di pihak wanita dan kemampuan pihak laki-laki dan puncak acara adalah pamitnya si wanita di Sanggah / Merajan dan keluarganya. Apabila perkawinan dengan cara ngerorod dilakukan oleh yang berbeda wangsa misalnya antara  wangsa   brahmana   dengan   wangsa   sudra,  maka  penglukuan  dan  mererasan  tidak dilaksanakan, karena cukup dengan mapejati saja, jadi orang tua wanita yang teriwangsa mengatakan selesaikanlah perkawinan tersebut disana saja. Pria yang non triwangsa perkawinan tidak usah datang metipat bantal ke rumah wanitanya.

Perlu diketahui bahwa pengrorodan yang terkejar oleh wiring wanita semasih da dalam perjalanan sebelum berlindung di rumah pihak ketiga, maka wiring berhak untuk membawa kembali anak gadisnya dengan atau tanpa persetujuan kembali sang gadis.

Peranan Hukum Adat Bali dalam perkawinan kawin fari (Ngerorod).

Hukum adat Bali tumbuh dan berkembang sejalan dengan kesadaran hukum yang dimiliki setiap anggota masyarakat yang sifatnya tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan. Hukum adat Bali berbeda dengan hukum tertulis yang dibuat oleh badan-badan pemerintahan yang berwenang seperti peraturan perundang undangan. Hukum adat Bali berasat dari suatu kebiasaan terus-menerus yang mempunyai sanksi, yang tidak dibukukan dan bersifat memaksa.
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh tradisi adat istiadatnya. Tradisi adat istiadat masyarakat Bali banyak dipengaruhi oleh hukum agama hindu sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat di Bali, disamping itu juga banyak digunakan oleh pengadilan adat di dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Tradisi yang dalam hal ini adalah hukum adat itu sendiri sangat berperan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hampir dapat dikatakan bahwa hukum adat Bali adalah juga hukum agama hindu.
Adanya keterkaitan antara hukum adat dan hukum agama hindu telah dikemukakan oleh Van Berg pada abad 19, melalui teorinya yaitu teori "Reception in complexu", yang menyatakan bahwa :
“Receptio in complexu oleh kaum hindu dari hukum hindu, oteh kaum islam dari hukum islam, oleh kaum Kristen dari hukum Kristen. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan menunrt ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agamanya harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia”.[21]
Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa apabila masyarakat memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat yang berlaku atas dirinya adalah berdasarkan atas hukum agama yang dianutnya. Jadi dalam masyarakat Bali yang sebagian besar memeluk agama hindu, adat istiadat dan hukum yang berlaku pada masyarakat Bali adalah adat istiadat dan hukum agama hindu.
Peranan adat pada masyarakat Bali meliputi lapangan hukum pribumi, keluarga, perkawinan,  dan  pewarisan.  Kesemuanya  itu  mempunyai  pengaruh  sangat  besar dikarenakan
adat tersebut diliputi unsur-unsur keagamaan yang kuat. Masyarakat Bali percaya bahwa sanksi hukum adat tidak hanya dari manusia itu sendiri atau menurut istilah di Bali adalah hukum sekala, akan tetapi juga adanya sanksi niskala. Sekala niskala icu merupakan suatu konsep keseimbangan yang bisa diarkikan sebagai konsep pembangunan manusia seutuhnya. Konsep in! segala tingkah laku masyarakat Bali diukur bukan hanya menurut kepatuhan secara material, tetapi juga kepatuhan secara spiritual, misalnya ember bekas mencuci pakaian bisa dianggap bersih secara niskala tetapi dianggap tidak baik untuk tempat air suci (tirta).[22]
Bali sebagai salah satu daerah yang mempunyai corak budaya dan adat yang berbeda dengan daerah lainnya memiliki kekhasan tersendiri dengan berpengaruhnya hukum agama hindu yang berpadu erat dengan hukum adat setempat mengakibatkan hukum agama hindu menjadi pedoman masyarakat Bali di dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Akibat Hukum Perkawinan Ngerorod (kawin lari) menurut Hukum Adat Bali
dan UU No.l tahun 1974.

Bila dikaitkan dengan ketentuan dalam Undang-undang perkawinan, maka perkawinan ngerorod ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No,9 tahun 1975, yang merupakan per•aturan peratusan pelaksana dari Undang-Undang No.l tahun 1974. Ketentuan pasal 3 ayat (2) tersebut mengatur tentang kewajiban bagi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan untuk memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai Pencatat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Walaupun demikian, perkawinan ngerorod ini sudah biasa dilakukan di Bali. Dasarnya dilihat dalam Manawa Dharmacastra[23] yang di dalam Adhyaya IX pasal 91 menyebutkan bahwa . "Adiyamana bhartaram adhigacchedyadi swayam, naianh kimicidawapnoti nascayam sadhigachati":[24] Artinya, jika karena tidak diberikan kawin, ia sendiri mencaci suami, ia tidak bersalah. Selanjutnua dijelaskan bahwa bila wanita yang telah cukup umur tidak dikawinkan oleh karena orang tuanya, sehingga karena perbuatannya wanita itu memilih calon suaminya sendiri diluar pengetahuan atau persetujuan orang tuanya, misalnya lari bersama melakukan Ghandarwa Wiwaha, maka wanita itu tidak dapat dipersalahkan, demikian juga calon suaminya.
Berdasarkan atas ketentuan Manawa Dharmacastra tersebut, maka menurut hukum agama hindu, perkawinan ngerorod itu tetap diakui sah, wataupun tidak ideal dan disebut sebagai Ghandarwa Wiwaha.   Dengan  demikian  kiranya  lebih  tepat  bila  dikatakan  bahwa sebenarnya perkawinan ngemmd bukanlah bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan, khususnya pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, melainkan merupakan perkecualian dari ketentuan pasal 3 ayat (2) tersebut. Dan perlu ditegaskan bahwa bilamana perkawinan dilakukan pada kehendak bersama dari kedua belah pihak. Sebab bila unsur kehendak (cinta sama cinta) tidak terpenuhi, dengan kata lain si gadis dipaksa dan tidak terpenuhi kehendak kawin, maka sifat ngerorodnya akan hilang dan sebaliknya perkawinan tersebut dikategorikan sebagai perkawinan melegandang konsekwensinya diancam hukuman sesuai ketentuan pasa1332 ayat (1) angka 2 sebagaimana terurai datas.
Dalam ketentuan pasal 2 ayat (2) W No. l tahun 1974 tidak berlaku secara efektif. Pandangan ini dikemukakan berdasarkan atas hasil penelitian dari I Gede Atmaja, yang mendapatkan bahwa kuantitas pencatatan perkawinan sangat kecil, dan itupun ditengarai hanya dilakukan dikalangan pegawai negeri dalam kaitannya dengan kepentingan kepegawaian.[25]
Bahwa kebiasaan tidak mencatatkan perkawinan ini berkait dengan adanya budaya perkawinan adat ngerorod (kawin lari), disamping itu perkawinan bagi masyarakat lebih dipandang untuk menentukan status sosial dalam hubungannya dengan masyarakat adat yaitu sebagai syarat mutlak menentukan keanggotaan desa dan Banjar serta anggota dadia untuk pemujaan pura keluarga.
Menyangkut ketentuan pencatatan perkawinan ini, memang masih memerlukan penjelasan untuk dapat diberlakukan disemua wilayah hukum Indonesia yang secara nyata masing-masing daerah memiliki budaya yang secara nasional juga diakui dan dihormati seperti ketentuan pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan selain yang beragama islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor caiatan sipil. Aturan ini kemudian dipertegas lagi oleh SK Menteri Daiam Negeri No.221 a tahun 1975, yang menentukan bahwa pencatatan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu dan Budha dilakukan di kantor catatan sipil.
Ketentuan diatas tentunya menimbulkan persoalan bagi masyarakat Hindu di Bali. Sebab masyarakat Hindu di Bali tidak melakukan pencatatan perkawinan di kantor catatan sipii, melainkan dicatatkan oleh Banjar, karena anggota banjar adaiah umat hindu yang sudah berkeluarga.[26]
Guna mengantisipasi persoalan diatas, pada tanggal 19 September 1975, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali mengeluarkan Surat Keputusan No. 16/Kesra/IUC/504/1975, yaitu menunjuk  para  camat  seluruh  Bali  sebagai pencatat perkawinan untuk umat Hindu dan Budha.
Pada tanggal 1 Oktober 1988, SK ini diganti dengan SK Gubernw Kepala Daerah Tingkat I Bali No.241 tahun 1988 yang isinya menunjuk para penyuluh agama hindu di tingkat kecamatan, Bendesa Adat / Kelian Adat sebagai pegawai pembantu pencatat perkawinan.
Kemudian tanggal 1 Januari 1990 berlaku SK Gubemw Kepala Daerah Tingkat I Bali No.233 tahun 1990, yang sekaligus mengganti SK No.241 tahun 1988. Materi SK Gubernw No.233 tahun 1990 adalah menunjilk kepala utusan pemerintahan kecamatan, Bendesa Adat / Kelian Adat di tingkat desa di propinsi Bali sebagai pembantu pegawai pencatatan perkawiann bagi umat hindu Warga Negara Indonesia di wilayahnya masing-masing.
Dalam kaitannya dengan sahnya perkawinan ini, masyarakat Bali sebenarnya tidak mengenal istilah demikian (sah). Yang dikenal untuk mengakui perkawinan adalah istilah puput (selesai). Dalam hal ini Moh.Koesnce menyatakan bahwa sahnya perkawinan menurut hukum adat Bali sukar ditunjukkan dengan suatu kejadian (peristiwa) saja karena untuk sahnya perkawinan tersebut perlu dilalui rangkaian kejadian yang makin lama makin tumbuh untuk menyempurnakan kedudukan suami isteri yang bersangkutan.
Akta perkawinan dan pencatatan perkawinan bukanlah merupakan tanda sahnya perkawinan, tetapi hanyalah sebagai bukti otentik perkawinan, dan fungsi pencatatan hanyalah bersifat administratif saja[27]
Gede Pudja juga mengemukakan bahwa suatu perkawinan menurut hukum hindu adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan agama, bukan pada tata administratif, tetapi untuk kepastian hukum, administratif itu diperlukan sebagai alat pembuktian yang kuat. Walaupun itu fl akukan mendahului pengesahan perkawinan, menunrt hukum hindu yang dicatat bukanlah perkawinannya tetapi akan dilakukan perkawinan dan ini tidak menjamin bahwa perkawinan itu akan dilakukan sah menurut agama.
Dalam pandangan Hindu, suatu perkawinan yang dilakukan tanpa upacara agama, mengakibatkan perkawinan tersebut tidak akan mendapat pengakuan di masyarakat. Akibat begitu kentalnya jalinan hubungan adat dengan agama Hindu di Bali maka persyaratan sahnya perkawinan adalah dalam pasal 2 ayat (1) W No. l tahun 1974. Bila dikaitkan dengan ketentuan dalam W perkawinan ngerorod ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (2) PP No.9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari W No. l tahun 1974. Ketentuan pasal 3 ayat (2) tersebut mengatur tentang kewajiban bagi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan untuk memberitahukan kehendak itu kepada pegawai pencatat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.

Terjadi perkawinan Ngerorod (kawin Ian) di daerah Singaraja Bali.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perkawinan ngeromd ditempuh akibat hubungan mereka tidak direstui orang tua atau keluarganya. Namun dalam perkembangan sekarang, ada juga menempuh jalan ngerorod walaupun hubungan mereka sudah disetujui orang tua, bahkan kadang-kadang mereka sudah memberitahukan akan Ian bersama untuk kawin. Hal ini biasanya dilakukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, yaitu menghindari segala biaya yang harus dikeluarkan bila menempuh cara perkawinan secara meminang serta alasan perbedaan wangsa.
Berkenaan dengan bentuk perkawinan ngerorod ini, ada banyak pandangan. Di satu sisi ada yang menganggap bahwa mereka yang melakukan bentuk perkawinan ini adalah kesatria. Sedangkan di sisi lain, ada yang memandangnya sebagai bentuk perkawinan yang kurang baik, karena dianggap pada unsur memaling (mencuri).
Jika ditelusuri perkawinan yang dianggap ksatria sebenarnya bukanlah perkawinan ngerorod, tetapi bentuk perkawinan kawin lari bersama yang lain yaitu, mengambil si gadis di tengah keluarganya setelah melalui tahap pertempuran dengan keluarga si gadis. Perkawinan karena keberhasilan melarikan si gadis secara kepahlawanan ini dinamakan dengan Walatkara.[28] Dalam hubungan ini dapat dilihat cerita pewayangan ketika Arjuna mengambil Subadra, dimana diceritakan bahwa :
“Atas petunjuk Kresna, Arjuna disuruh melarikan Subadra, sebab itulah tindakan kesatria. Atas tindakan Arjuna ini , Baladewa menjadi tersinggung dan merasa terhina serta marah kepada Kresnakarena dia diam saja menerima hinaan itu. Selanjutnya Kresna menjelaskan bahwa ia justru akan menjadi lebih mali kalau Subadra dibeli dengan emas, intan, berlian. Kresna malahan memuji tindakan Arjuna karena dan menganggapnya seorang Kesatria. Akhirnya Kresna berkata kapada Baladewa, kalau engkau seorang kesatria juga, kejarlah Arjuna, bertempurlah dan rebut kembali Subadra. Aku (Kresna) merasa tidak mampu untuk melawan Arjuna makanya aku diam saja.”[29]
Terlepas dari pandangan baik atau tidaknya tindakan perkawinan ngerorod, pada masa sekarang bentuk perkawinan ini masih umum dilakukan di Bali, dan mereka yang   melakukannya tidak dapat dipersalahkan, asalkan syarat perkawianan umum sudah dipenuhi, misalnya tidak melanggar batas umur atau tidak ada unsur paksaan terhadap  si gadis. Keberadaan lembaga perkawinan ngerorod ini telah diakui oleh pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.43/PN.Dps/Pdt/1976, yang antara lain berbunyi: "menimbang pada  umumnya  kawin  lari  (ngerorod)  itu  ditempuh  oleh  kedua  mempelai apabila keluarga si
gadis tidak menyetujui perkawinan anaknya atas alasan perbedaan wangsa atau latar belakartg sosial ekonomi".
Walaupun perkawinan ngerorod ini dapat dibenarkan, dalam pelaksanaannya tetap harus memperhatikan norma-norma adat perkawinan tersebut. Tahapannya adalah, setelah si pria dan si wanita merencanakan secara matang untuk melangkah ke tali perkawinan, maka mereka menentukan kapan dan dimana si wanita akan menunggu untuk selanjutnya lari bersama. Biasanya waktu pelarian adalah sandyakala (sore menjelang malam). Maknanya, adalah menguji apakah benar kesungguhan hati calon penganten wanita berani keiuar sendiri untuk kawin lari tersebut.
Dalam pelariannya, calon mempelai berdua biasanya bersembunyi di tempat orang ketiga. Tempat ini disebut paeugkeban (tongos penganten mengkeb = tempat persembunyian penganten). Selan,jutnya pihak pria mengirim utusan ke rumah si wanita guna memberitahukan dan memaklumkan kepada keluarga si wanita. Pengiriman utusan untuk pemberitahuan ini disebut dengan istilah ngeluku, yang biasanya dicirikan dengan membawa damar (lampu minyak) disertai surat pernyataan cinta sama cinta dari pria dan wanita yang ngerorod tersebut. Kadangkala tahapan-tahapan perkawinan ngerorod ini tidak dapat dilaksanakan semuanya, terutama bila orang tua si wanita tidak setuju dengan perkawinan tersebut, sehingga biasanya pada waktu ada pengelukuan, orang tua si gadis meminta untuk tidak melanjutkannya dan supaya diselesaikan saja menurut adat di tempat si pria. Berkenaan dengan hal ini, maka untuk menghindari adanya konflik adat, maka Pemerintah Daerah Propinsi Bali mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Undang Undang hto.l tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 bagi umat Hindu l Budha di Bali. Dalam pedoman itu ada ketentuan yang menyebutkan tentang norma-norma ngerorod yang harus dipenuhi agar dapat dilindungi hukum yaitu :
1. Pria dan wanita sama-sama sudah dewasa dan suka sama suka.
2. Untuk sementara waktu mereka berlindung secara pasti di rumah pihak ketiga dan ' dengan seketika melaporkan kepada pamong adat setempat.
3. Pihak pria seketika mengirim utusan untuk mempermaklumkan pengerorodan tersebut kepada pihak orang tua si wanita.
4. Bilamana dikehendaki, harus diberi keleluasan demikian rupa kepada orang-orang tua si wanita untuk dapat mengetahui secara langsung sikap hati anaknya[30]
Dengan memperhatikan ketentuan diatas, bagi mereka yang hendak kawin secara ngerorod harus mempergantikannya. Sebab apabila tidak dipenuhi, dapat menimbulkan kesulitan dalam melangsungkan perkawinan. Terutama unsur suka sama suka, apabila tidak dipenuhi atau terbukti ada pemaksaan terhadap pihak wanita untuk ngemrod tersehut, si pria dapat  dijerat  unsur  delik  dalam  pasal  332 ayat (1) angka 2. Perlunya unsur suka sama suka ini juga akan memperkuat sifat kawin lari bersama tersebut. Sebab disini akan terlihat bahwa dalam perkawinan tersebut mereka lari bersama, tidak ada pihak yang melarikan dan juga tidak ada pihak yang merasa dilarikan. Bila ketentuan ketentuan diatas dilaksanakan, tentunya proses perkawinan ngerorod dapat terus dilaksanakan.

Pelaksanaan dan Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali.

Dalam melakukan perkawinan , maka mereka yang berkehendak untuk itu harus memperhatikan tata caranya, termasuk prosedur sebelum upacara untuk mengesahkan perkawinan tersebut dilaksanakan. Sebelum sampai kepada pilihan untuk membentuk rumah tangga, biasanya pertemuan mereka didahului dengan hubungan muda-mudi. Pertemuan ini kadang kala memang disengaja atau bisa juga karena kebetulan. Kesengajaan biasanya karena mereka sudah pernah bertemu tetapi tidak kenal sebelumnya atau memang ada pihak lain yang sengaja igin menjodohkan mereka. Apabila ada pihak lain yang terlibat, maka pihak lain tersebut biasanya disebut dengan istilah ceti (perantara).
Di lain pihak, hubungan muda-mudi bisa karena kebetulan, seperti misalnya dalam suatu kegiatan di banjar atau di desa. Setelah pertemuan tersebut, apabila mereka merasa cocok, maka akan diteruskan dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Menurut kebiasaan, si pria lah yang akan ngangur (datang bertandang) ke rumah gadis idamannya, baik secara terang-terangan ataukah dengan sembunyi-sembunyi. Ngangur secara sembunyi-sembunyi biasanya karena hubungan mereka belum atau tidak mendapat restu dari orang tua atau keluarga si gadis.
Setelah hubungan meraka semakin erat dan mantap, maka tahapan tersebut dengan istilah magegelan (berpacaran). Istilah magegelan ini dikenal pula dengan istilah matetagon seperti yang dapat dilihat dalam lontar Ekapartama. Apabila diantara mereka yang magegelan merasa sudah ada kecocokan, maka tahapan selanjutnya mereka akan memikirkan untuk melangkah ke ikatan perkawinan. Disinilah mereka akan mulai memikirkan keterlibatan keluarga atau kerabatnya.
Tanda pengikat pertunangan bukan saja diberikan oleh pihak pria, tetapi juga dapat diberikan oleh pihak si wanita ataupun oleh kedua belah pihak. Adapun yang sering dipergunakan sebagai tanda pengikat sekarang adalah berupa sirih serta pinangnya.
Setelah pertunangan sah, maka hanya tinggal menentukan kapan perkawinan itu dilangsungkan. Dalam hal ini biasanya hanya menunggu dewasa ayu (hari baik) untuk melangsungkan perkawinan serta waktu untuk mengambil atau menjemput si gadis.
Pada waktu penjemputan sah, si pria akan  membawa  seperangkat    pakaian wanita untuk diberikan kepada gadis yang akan menjadi pasangannya. Setelah si wanita diajak dan sampai di rumah calon suamirrya, maka Alan dilakukan upacara untuk mengesahkan pasangan tersebut sebagai suami isteri. Tetapi kadangkala upacara tersenut tidak langsung dilaksanakan pada hari itu,  melainkan  memilih  hari  terbaik  menurut  pertimbangan  kaluarga  memilih  hari
terbaik menurut pertimbangan keluarga memilih had terbaik menurut pertimbangan keluarga setelah berkonsultasi (biasanya) dengan pendeta.

Pegertian Upacara Mekala-kalaan.

Sebelum menguraikan mekala-kalaan terlebih dahulu dikemukakan mengapa umat Hindu melaksanakan Upacara Yadnya. Yadnya merupakan korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas, yang dengan yadnya seseorang akan memperoleh kerahayuan dan kebahagiaan. Hal ini dapat kita simak dalam Bhagawad Gita Bab II Sloka II yang berbunyi sebagai berikut :
Devan bhavyata nena
Te deva bhavayan tuvah
Parasparam bhavayantah
Sreyah param avapsyatha
Yang artinya :
Dengan ini pujalah Dewata
Semoga dewata memberkahi engkau
Dengan sating menghormati begini
Engkau mencapai kebijakan tertinggi.[31]
Jadi disini sebagai Umat Hindu, guna mencapai suatu kerahayuan maka haruslah melaksanakan korban suci yang tulus ikhlas yaitu berupa yadnya.
Yang dimaksud dengan upacara mekala-kalaan dibuat agar identik dengan kekuatan kala (energi yang timbul) karena kekuatan kala tersebut merupakan manifestasi dari kekuatan kama, sehingga dari kama bermanifestasi menjadi bermacam-macam kala (bermacam-macam bentuk energi yang timbul). Sehubungan dengan pengantin dipersonifikasikan sebagai kekuatan kala dan kali yang disebut "Kala Nareswari ". Untuk tebih jelasnya kami jelaskan melalui ejaan kata yaitu : Mekala-kalaan berasal dari kata "kala" yang artinya energi yang timbul mendapat awalan me-, membentuk kata kerja yang artinya "menjadikan seperti kala". Agar mendapat pengertian lebih dari satu kala, maka dibuat kata ulang yang memiliki bentuk predikat melebar sehingga menjadi kata "mekala-kalaan", serta mengandung arti dibuat banyak kala. Kala ini merupakan manifestasi dari kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan disebut "Asuri Sampad", sehingga dapat memberi pengaruhnya kepada pengantin termasuk terhadap keturunannya nanti, maka keadaan inilah yang dikatakan bahwa calon pengantin sedang diselubungi "sebet kandelan”   Oleh karena itu calon pengantin perlu melaksanakan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan yang disebut "Daiwi Sampad".
Dalam pustaka Bhagawad Gita XV7-S, mengungkapkan sebagai berikut :
Dambodarpo ‘bhimanas Ca
Krodhd Ca' Parusyam Ewaca,
Ajnanam Ca' Abhijato' Si
Pratha Sampadam Asurim
Maksudnya :
Berpura pura, angkuh membanggakan diri,
Marah, bodoh, semuanya ini adalah harta
Dari dia yang dilahirkan dengan sifat-sifat
Raksasa, Oh Arjuna.
Dari isi sloka diatas, terungkap sangatlah penting pelaksanaan penyucian terhadap calon pengantin karena salah satu tujuan perkawinan adalah sebagai yadnya. Dikatakan sebagai yadnya karena perkawinan menurut keyakinan dan kepercayaan Hindu adalah mengaharapkan kelahiran anak suputra yaitu anak yang diharapkan nanti banyak memiliki sifat-sifat kedewataan, berperilaku yang bijak, serta memiliki pengaruh kehadapan leluhur, dalam pencapaian moksa.
Pustaka Bhagawad Gita XVI-S menyebutkan antara lain:
Daiwi Sampad Woimoksaya
Nibandhaya Suri Mata
Ma Sucah Sampadam Daiwim
Abhijato' Si Pandawa
Maksudnya :
Sifat-sifat mulia adatah jalan untuk moksa
Dan keterikatan jahat adalah jalan menuju
Kejahatan, demikian dianggapnya, janganlah
Bersedih, wahai Pandawa, engkau
Dilahirkan dengan sifat-sifat Dewata
Selanjutnya kata upacara berasal dari kata upa dan cara. Upa artinya berhubungan dengan, dati cara berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Serakan.[32]

Tujuan Upakara Mekala-kalaan.

Melangsungkan suatu perkawinan tidak teriepas dari melaksanakan suatu upacara ini merupakan suatu persaksian baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan did sebagai suami isteri serta akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama.
Tujuan dan pada upacara ini adalah pembersihan terhadap sukla wanita (bibit) serta lahlrnya bathln.[33]
Dengan melaksanakan upacara ini bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh buruk, sehingga kalau keduanya bertemu akan terbentuklah buah mani yang sudah bersih, denagn demikian roh yang akan menjadi adalah roh yang suci dan kemudian kalau kelak dikemudian hari lahir akan menjadi orang yang berguna.
Demikian pula kalau melaksanakan upacara perkawinan menurut agama Hindu serta ajaran-ajarannya berarti pula kedua mempelai telah memilih agama Hindu dengan segala ajaran ' ' sebagai pegangan hidup di dalam membina rumah tangga.
Menurut beberapa lontar seperti kuno dresti, bahwa hubungan seks yang tidak didahului oleh upacara mekala kalaan dianggap tidak baik disebut kama kaperagan yakni kalau kedua kama tersebut rare dia-diu yaitu anak yang tidak mau mendengar nasehat orang tua, agama.

Upakara / Banten Yang Dipergunakan

Adapun banten dan materi yang dipergunakan dalam pekala-kalaan adalah : peras, ajuman, daksina, suci dengan itik / telur itik, tipat kelanan, sesayut, pengambean, penyeneng, tulung, sanggah urip, pamugbug, untek 7 buah, solasan 22 tanding bayuhan, pabiyekalaan, prayascita, lis, gelar sanga, tetabuh, dan material l perlengkapan seperti :
  • Tikeh dadakan, sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan, yang masih hijau, ini merupakan simbol kesucian si gadis.
  • Kala sepetan adalah sebuah bakul yang berisi telur ayam yang mentah sebutir, batu bulitan sebuah, uang 25, kunir, keladi, andong, kapas, lalu bakul itu ditutupi dengan serabut yang dibelah tiga yang berasal dari sebutir kelapa. Serabut itu diikat dengan benang merah putih dan hitam, diatasnya diisi muncuk dadap dan lidi masing-masing 3 buah. Ini merupakan perwujuan dari pada Sang Hyang Kala Sepetan yaitu salah satu Butha Kala yang meneriama banten padengen-dengen (pekala-kalaan).
  • Tegen-tegenang terdiri dan cangkul, sebatang tehu dan batang dapdap, salah satunya digantungi periuk yang berisi tuutp dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang. Sok pedagangan adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbu-bumbuan, rempah­rempah pohon kunir, keladi, dan andong.
  • Panegtegan biasanya dipakai tiang dari pada sanggah kemulan, yang disebelah kanannya, yaitu diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya, ini adalah simbul kelaki-lakian.
  • Papegatan dibuat dari cabang dapdap, yang di tancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih.
  • Tetimpug dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya, dalam upacara nanti bamboo ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi.
  • Banten untuk dijalan yang ditujukan kepada Sang Bhuta Hulu Lembu, Sang Bhuta Artha, dan Sang Bhuta Kilang-Kilang yang terdiri atas : nasi, ikannya karangan babi, di gulung dengan upih, ikannya hati, bunga cempaka, canang burat wangi, sesari 25, tetabuhan.
  • Banten patemon diatas pintu, ditujukan kepada Sang Bhuta Pila-Pilu, yakni nasi takilan ikannya darah mentah yang dilimasi / dialasi dengan tangkih, bawang, jahe, dan garam.
  • Banten jamuan/pejati yang diserahkan pada orang tua si gadis yang terdiri dari beras, ajuman, daksina, suci, dengan ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal jaja kukus, jenis jajan lainnya, sirih, pinang tembakau, gambir, rantasan seperadeg (pakaian saht stel), tumpeng dan guling babi.


Jalannya Upacara Makala-kalaan.

Seperti biasa terlebih dahulu mabeyakala maperascita kemudian mempelai disuruh duduk menghadap sanggah kemulan serta barnen padengen-dengenan.
Setelah benten tersebut dipuja seperlunya, lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian diupakarai dengan alat-alat yang ada pada pembersihan seperti sisir, keramas, segau, tepung tawar, dan sebagainya, lalu diberi panglukatan dan kemudian natab. banten padengen­dengenan, seianjumya kedua mempelai berjalan mengelilingi sanggah kemulan, sanggah pesaksi, tiap kali melewati kala sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan sukla wanita dan dirinya, setelah tiga kali lalu pengantin lelaki berbelanja sedangkan yang perempuan menjual segala yang ada pada sok bebelanjaan, waktu berjalan pengantin laki-laki memikul tegen-tegenan dan yang perempuan memikul sok belanja. Upacara jual beli ini mungkin simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan, kemudian dilanjutkan dengan merobek tikar dimana pengantin yang perempuan memegang tikar tersebut, dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada panegtegan, hal ini merupakan simbul pemecahan selaput gadis, setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang tertelantang pada carang dapdap sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami isteri, kemudian bersama sama menanam pohon kunir, andong dan keladi di belakang sanggah kemulan dilanjutkan dengan mandi berganti pakaian. Sore harinya dilanjutkan dengan upacara melukat, mejaya jaya dan natab dapetan seadanya dan akhirnya mepejati ngabe jaja. Upacara mepejati ini bertujuan bahwa mulai saat itu si gadis tidak lagi menjadi tanggung jawab dan hak waris keluargarrya, dengan demikian upacara mekala-kalaan telah selesai.

Kesimpulan

Bahwa perkawinan ngerorod (kawin lari) dilakukan atau ditempuh akibat hubungan mereka tidak direstui orang tua atau keluarganya. Pada perkembangan sekarang, perkawinan ngerorod ditempuh walaupun pihak sudah disetujui oleh orang tua, bahkan mereka langsung sudah memberitahukannya akan kawin lari bersama untuk melangsungkan perkawinan.
Perkawinan ngerorod dilakukan berdasarkan pada pertimbangan ekonomis, yaitu menghindari biaya yang cukup besar yang harus dikeluarkan apabila menempuh perkawinan secara meminang, disamping tersebut diatas bahwa yang menjadi alasan yaitu perbedaan wangsa atau kasta.
Pada masa sekarang perkawinan ini masih umum dilakukan di Bali, asalkan syarat perkawinan secara umum sudah dipenuhi.
Menurut agama hindu perkawinan ngerorod itu tetap diakui sah. Dan keberadaan lembaga perkawinan ngerorod ini telah diakui oleh pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 43 / PN. Dps / Pdt / 1976, yang antara lain berbunyi : "menimbang pada umumnya kawin lari (ngerorod) itu ditempuh oleh kedua mempelai apabila keluarga si gadis tidak menyetujui perkawinan anaknya atas alasan perbedaan wangsa atau latar belakang sosial ekonomi".
Perkawinan ngerorod membawa akibat hukum dalam perikatan adat, dimana perkawinan ngerorod ini sah di dalam ketentuan baik menurut agama, tata administratif menjamin kepastian hukum. Di dalam perkawinan ngerorod harus ada unsur suka sama suka, apabila tidak dipenuhi atau terbukti ada pemaksaan terhadap pihak wanita, maka jelas si pria dapat dijerat delik pidana sesuai dengan pasa1332 ayat (1) angka 2.

Saran-saran.

Hendaknya perkawinan tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan aturan adat yang berlaku. Walaupun perkawinan ngerorod ini dapat dibenarkan, namun hendaknya dalam pelaksanaannya tetap harus memperhatikan norma-norma adat perkawinan tersebut.

 Daftar Bacaan
  • Soeripto, K. R. M. H,  Hukum  Adat dan Pancasila Dalam Pembinaan Hukum Nasional Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, 1969.
  • Pudja Gede, Sosiologi Hindu Dharma, Cet. I, Yayasan Pembangunan Pura Pita Mah, 1963.  Korn, V.E, Hukum Adat Waris di Bali, Terjemahan I Gede Wajan Pangkat, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana, 1972.
  • Astiti, dkk, Hukum Adat Dua (Bagian II), Biro Dokumentasi FH. UNUD, 1984.
  • Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, Kumpulan Keputusan Pengadilan Raad Kerta Mengenai Perkawinan di Bali, tanpa tahun.
  • Ngurah, Sagung, dan A. A Made Sucita, Adat Istiadat Perkawinan / Pawiwahan Agung Bali, Tabanan, 1991.
  • Ni Wayan Arnati,Petunjuk Bahasa Pawiwahan Adat di Bali, CV. Nira Surya Raditya, Denpasar, 2002.
  • Gumperz, Type Of Linguistic Communities, Antopolitikal Lingistic, 1962.
  • Fishman LA (ed), Sosiolonguistic, A. Brief Intoduction, Rowley Mass New House, 1972.
  • Panetje I Gede, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, tanpa tahun.
  • I Gusti Putu Dwija, Melegandang, Majalah Bhawanagara, No. l 1-12 tahun ke III, 1934.
  • Tjok Rai Sudharta MS, Sarasa Mucchaya, Jilid I, Parisada Hindu Dharma Pusat Denpasar, 1968.
  • Pudja Gede, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hindu, Dirjen Bimas Hindu dan Budha Depag, 1974.
  • Parisada Hindu Dharma Pusat, Himpunan Keputusan seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek­Aspek Agama Hindu I-XV, Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Kehidupan Beragama Tersebar di 8 (delapan) Kab. Dati II, Denpasar, 1985.
  • Wirjono Prodjodikuro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung,1991.
  • Tjokorda Istri Putra Astiti, Hukum Adat Dua, Biro Dokumentasi dan Publikasi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, DEnpasar, 1984.
  • Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Cet IV, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Hilman Hadi Kusuma II).
  • Putu Setia, Editor, Cendikiawan Hindu Bicara, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar, 1992.
  • I Gusti Ketut Adia Wiratmadja, Murdha Agama Hindu (Indonesia) Bagian I, Yayasan Hindu Dharma Laksana Saraswati, Yogyakarta, 1966.
  • I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Perkawinan Menurut Hukum Agama Hindu, FH & PM Universitas Udayana, Denpasar 1981.
  • I Dewa Gede Atmaja, Keturunan Hukum Masyarakat Bali Studi Perkawinan Ngerorod,  Surabaya, 1983.
  • I Wayan Benny, Hukum Adat Dalam UU Perkawinan Indonesia (UU No.l tahun 1974) Biro Dokumentasi & Publikasi FH dan PM, Denpasar, 1981.
  • Baca Departeman Dalam Negeri Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Pedoman Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pmerintah No.9 tahun 1975 Bagi Umat Hindu / Budha di Bali.
  • Nyoman S. Pendit, Bhagawad Gita, BP. Dharma Nusantara, Jakarta, 1986.
  • Nyonya I Gusti Ayu Mas Putra, Upakara Yadnya, Perwakilan Departemen Agama Propinsi Bali, 1974.



[1] Soeripto, K. R. M. H., Hukum Adat dan Pancasila Dalam Pembinaan Hukum Nasional Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, 1969, h. 2
[2] Pudja, Gede, Sosiologi Hindu Dharma. Cet. I, Yayasan Pembangunan Pura Pita Mah, 1963, h. 90
[3] Korn, V.E, Hukum Adat Waris di Bali, Terjemahan I Gede Wajan Pangkat, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, 1972, h 38
[4] Astiti, dkk, Hukum Adat Dua (Bagian II). Biro Dokumentasi FH. Unud, 1984. hal 16
[5] Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, Kumpulan Keputusan Pengadilan Raad kerta Mengenai Perkawinan di Bali, hal. 6
[6] Ibid, hal 10
[7] Gumperz, Type Of Linguistic Communities, Antropolitikkal Linguistic, 1962, hal 3
[8] Fishman J.A (ed), Sosiolonguistic A. Brief Introduction, Rowley Mass New House, 1972, hal. 12
[9] Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, Kumpulan Keputusan Pengadilan Raad kerta Mengenai Perkawinan di Bali, hal. 8
[10] Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, Op. Cit, hal 9
[11] Panetje, I Gede, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, hal 55
[12] I Gusti Putu Dwija, melegandang, Majalah Bhawanagara, No. 11-12 tahun ke III, April 1934
[13] Tjok Rai Sudharta MS, 1968, Sarasa Mucchaya, Jilid I, Parisada Hindu Dharma Pusat Denpasar, hal 13
[14] Pudja G, 1974, Pengantar tentang Perkawinan Menurut Hindu, Dirjen Bimas Hindu dan Budha Depag, hal 9
[15] Ibid, hal 24
[16] Parisada HinduDharma Pusat, Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I – XV, Proyek peningkatan Prasarana dan sarana kehidupan Beragama Tersebar di 8 (delapan) Kab. Dati II, Denpasar, 1985)
[17] Ngurah, Sagung dan A. A, Made Sucita, Adat Istiadat Perkawinan/Pawiwahan Agung Bali, Tabanan, 1991, hal. 4
[18] Ibid, hal 3
[19] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1991
[20] Tjokorda Istri Putra Astiti, Hukum Adat Dua. Biro Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1984.
[21] Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, cet IV, Alumni, Bandung 1990 (Selanjutnya disingkat Hilman Hadi Kusuma II), hal 18.
[22] Putu Setia, Editor, Cendikiawan Hindu Bicara, yayasan Dharma Naradha, Denpasar, 1992, hal 108
[23] I Gusti Ketut Adiya Wiratmaja, Murdha Agama Hindu (Indonesia) Bagian I, Yayasan Hindu Darma Laksana Saraswati, Yogyakarta, 1966, hal 57
[24] I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Perkawinan Menurut Hukum Agama Hindu, FH dan PM Universitas Udayana, Denpasar, 1980, hal 25
[25] I Dewa Gede Atmadja, Keturunan Hukum Masyarakat Bali Study Perkawinan Ngerorod, Surabaya, 1983, hal 96.
[26] Tjok Istri Putra Astiti, Perkawinan Menurut Hukum Adat dan Agama di Bali, Biro Dokumentasi dan Publikasi FH dan PM, Denpasar, 1981 hal 6.
[27] I Wayan Benry, Hukum Adat Dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia (UU No. 1 Tahun 1974), Biro Dokumentasi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar, 1978, hal 26
[28] Tjok Istri Putra Astiti, Perkawinan Menurut Hukum Adat dan Agama di Bali, Biro Dokumentasi dan Publikasi FH dan PM, Denpasar, 1981, hal 18
[29] Ibid hal. 19
[30] Baca Departemen Dalam Negeri Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Pedoman Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Bagi Umat Hindu/Budha di Bali, hal 11.
[31] Nyoman S. Pendit, Bhagawat Gita, Bp. Dharma Nusantara, Jakarta, 1986, hal 3
[32] Nyonya I Gusti Ayu Mas Putra, Upakara Yadnya, perwakilan Departemen Agama Prof. Bali,                 1974, hal 4
[33] Ibid, hal 13

2 komentar: