Oleh:
MADE WARKA
Dosen Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Pernah muat di Jurnal Kajian Masalah Hukum PERSPEKTIF
KEADILAN
ISSN : 1410-3648, Vol. : XII Nomor 1 Tahun 2007
Abstract
Dyssynchronization of law in investment field happens in vertical
and horizontal relationship. Forexample, relationship between the Decree of
Investment MinistrylChief of Capital Investment Coordinator Agency Number
37/SK/9999, if follows decentralization principle. When it is related with the
Decree of President of Republic of Indonesia Number29 Year2004, itfollows
centralization principle.
According to Law Number 32 Year2004, in the relationship between
Regency/City government with another, there is dyssynchronization because each
regions only sued for optimal PAD increment, therefore many regional rules
(Perda) which are established by RegencylCity government tend to obstruct
capital investment in the RegencylCity area.
With dyssynchronization above, there is uncertainty concerning with
the effect of lawtoinvestor, andfinally, thenumber ofunemployment isincreasing.
Keyword: Law, investment
Negara-negara
yang sedang berkembang, termasuk Indonesia pada umumnya mempunyai suatu
keinginan yang kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonominya. Pelaksanaan pembangunan ekonomi
tersebut diarahkan berdasarkan kemampuan diri sendiri, di samping memanfaatkan
sumber lainnya sebagai unsur pendukung. Persoalan yang seling muncul adalah
terbatasnya sumber dana di dalam negeri.
Tujuan
pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Program Pembangunan Nasional
(Propenas), yakni berusaha mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, di mana
masyarakat yang adil dan makmur diwujudkan melalui pembangunan di berbagai
bidang, diantaranya bidang ekonomi.
Pembangunan
ekonomi identik dengan pembangunan sektor-sektor
ekonomi yang terdapat di negara Indonesia, Seperti: sektor pertanian, sektor
kehutanan, sektor perikanan, sektor perikanan, sektor pertambangan, sektor
industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan lain-lain.
Menyadari
pentingnya sumber modal tersebut untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, Pemerintah Indonesia sejak tanggal 10 Januari
1967 telah mengeluarkan kebijakan tentang penanaman modal, dan kemudian diundangkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (L.N. 1967 Nomor
1 TLN-2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970,
(L.N. 1970 Nomor 46, TLN 2943). Kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (L.N. 1968 Nomor 33, TLN 2853 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970, (L.N. 1970 Nomor47, TLN
2944).
Dalam
mengantisipasi hal tersebut pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu melakukan
langkah-langkah sinkronisasi hukum di bidang investasi, diharapkan investasi
masuk ke wiayahnya semakin kondusif.
Penggantian sistem pengelolaan pemerintahan di daerah dengan model
pelaksanaan otonomi daerah, maka otonomi yang luas diletakkan pada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota. Sebagai daerah yang paling dekat dengan rakyat, untuk
itu kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota diserahkan kewenangan pemerintahan
secara utuh kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
moneter dan fiskal, peradilan, dan agama, serta bidang tertentu dapat
dilaksanakan bersama antara Pemerintah
dan pemerintah daerah.
Investasi yang
ditanamkan pada suatu daerah atau negara terdiri atas investasi domestik yang
sering disebut penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.
Investasi tersebut memiliki fungsi sebagai sumber pendanaan dalam pembiayaan pengelolaan sumber daya alam. Mengenai penanaman modal dalam negeri sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman modal asing sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.
Investasi asing
yang banyak menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah adalah investasi
langsung (foreign direct investment). Penanaman
modal asing dengan cara ini berlangsung melalui pembangunan unit-unit produksi
langsung pada daerah dimana investasi
ditanamkan. Adanya investasi tersebut, dapat menguntungkan daerah dalam
mengelola dan mengolah sumber daya alam yang sudah dimiliki, mendukung
peningkatan pendapatan masyarakat dan manfaat dari investasi langsung bersifat
jangka panjang dan mempunyai efek sampingan yang lebih besar dari keuntungan financial.
Manfaat lainnya
adalah penyiapan lapangan kerja, transfer teknologi dan memaksimalisasi pengelolaan sumber daya alam di
daerah.
Ketidaksinkronan
terjadi, jika melihat Keputusan Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan
Koordinator Penanaman Modal Nomor 37lSK/1999, tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal
Kepada Gubernur Kepala Daerah Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,tentang
Pemerintahan Daerah, dimaksudkan dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Dengan demikian yang berkewenangan dalam investasi di daerah
adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, dalam hal ini adalah Bupati/ Wali
Kota itu sendiri, dan memberlakukan asas desentralisasi, dengan ada
dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004,
tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal asing Dan
Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
Yang
berkewenangan berkaitan dengan investasi adalah Badan Koordinator Penanaman
Modal (BKPM), yaitu instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman modal
dalam rangfca PMA dan PMDN dan hal ini memakai asas sentraliasi.
Pemerintah
daerah Kabupaten/Kota dalam meningkatkan pembangunan ekonominya, pada
pemerintah daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan peraturan daerah masing-masing, dan
peningkatan PendapatanAsli Daerah (PAD) menjadikan alasan dikeluarkannya
peraturan daerah masing-masing pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
Hal tersebut
dikeluarkan berdasarkan pada kepentingannya masing-masing pemerintah daerah
Kabupaten/ Kota, seper6 dalam penentuan pajak dan retribusi dafam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang pada akhimya terjadi pruduk-produk peraturan
daerah (Perda) yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan karena
masing-masing perebutan lahan sebagai tuntutan peningkatan Pendapayan asli
Daerah (PAD) yang dapat menghambat investor berinvestasi, disamping investor
dengan kehati-hatiannya berinvestasi memandang, biaya yang harus dikeluarkan
bertambah juga memerlukan waktu penyelesaian proses birokrasi semakin panjang
(bertambah). Dalam Penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum
normatif.
Dari latar
belakang tersebut dapat dikemukakan permasalahan "Mengapa ketidaksinkronan
hukum mengambat investasi?".
Sesuai dengan
amanat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pemerintahan daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian
otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat. Di samping itu bahwa otonomi daerah luas daerah diharapkan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan dalam keanekaragaman daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan
Undang-Undang Otonomi Daerah, penyelenggaraan pemerintahan dititik beratkan
pada daerah atau disebut desentralisasi, tidak lagi seperti masa-masa yang lalu
dimana penyelenggaraan pemerintahan dititik beratkan pada pusat atau disebut
sentralisasi. Undang-undang ini memberikan peluang seluas-luasnya kepada daerah
disertai pemberian hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur rumah
tangganya sendiri, sehingga ada keseimbangan antara pemerintah pusat dan
daerah, juga dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berdasarkan
keadilan.
Seiring dengan
prinsip otonomi daerah, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh
dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin
keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya.
Artinya Daerah
untuk meningkatkan lyesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar
daerah. Hal ini tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu
memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.
Dengan
perjalanan waktu, ternyata terjadi ketidaksinronan dalam peraturan
perundang-undangan baik dalam hubungan vertikal maupun horizontal, khususnya
dalam penanaman modal. Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara
Investasi/ Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Nomor 37/SK/1999, tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Fasilitas Serta Perizinan
Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi.
Dalam Pasal 2
menyebutkan dengan pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) dan ayat (3), maka penerbitan Surat Persetujuan, Surat Persetujuan
Fasilitas dan Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal dapat dilakukan oleh
Menives/ Kepala BKPM atau Gubernur Kepala
Daerah Propinsi dalam hal ini Ketua BKPMD sesuai dengan permohonan yang
diajukan calon penanam modal kepada Meninves/ Kepala BKPM atau Ketua BKPMD.
Dengan demikian
kewenangan ada pada Pemerintah Daerah Propinsi atau Ketua BKPMD. Di Jawa Timur
dikenal dengan Badan Penanaman Modal (BPM), hal ini menganut asas
desentralisasi, yang sejiwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Tetapi, Keputusan Menteri tersebut timbul ketidaksinkronan
dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004, tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka
Penanaman Modal asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem
Pelayanan Satu Atap.
Hal ini dilihat
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 3 menyebutkan pelayanan
persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf c tentang rangka Penanaman Modal asing (PMA) dan Penanaman Modal
dalam Negeri (PMDN) dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), berdasarkan pelimpahan kewenangan dari
Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membina bidang -
bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan atu
atap.
Jadi yang
berkewenangan dengan investasi, adalah Badan Koordinator Penanaman Modal
(BKPM), merupakan instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman modal
dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN),
adalah Gubernur/ Bupati/ Walikota sesuai dengan fungsi kewenangannya dapat
melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman
modal kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui sistem pelayanan
satu atap. Keputusan Presiden tersebut kembali kepada asas sentralisasi artinya
semua pelayanan perizinan, persetujuan, dan pemberian fasilitas dalam penanaman
modal asing dan penanaman modal dalam negeri disentralkan pada pemerintah
pusat/Ketua BKPM. Terjadinya komplik produk hukum tersebut, maka diperlakukan
asas Lex Superior
Derogat Lex Inferior, dimaksudkan
undang-undang yang berlaku lebih tinggi, menyampingkan undangundang yang lebih
rendah.
Ketidaksinkronan
secara horizontal dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat (2)
menyebutkan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
dalam ayat (3). Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dalam mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan dan
dekosentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di luar yang
menjadi urusan pemerintah meliputi, politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, monter/ keuangan dan agama, hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah
daerah Provinsi Kabupaten/ Kota, maka yang berkewenang dalam investasi adalah
Bupati/ Wali Kota.
Terjadinya
ketidaksinkronan hukum di bidang penanaman modal baik secara vertikal maupun
secara horizontal, maka ketidakpastian hukum terjadi, dan hal tersebut
dijadikan sebagai salah satu faktor pertimbangan seorang investor enggan
menanamkan modalnya dalam kawasan yang ditentukan selainnya masih banyak
faktor-faktor yang menjadi pertimbangan investor keinginan menanamkan modalnya
di daerah, seperti faktor stabilitas politik dan keamanan.
Untuk
men.apggulangi keadaan tersebut maka, pemerintah berupaya mengatasi dan
mengejar ketinggalan dengan memperhatikan unsur penting
dalam kegiatan penanaman modal, sehingga investor tertarik berinvestasi di
daerah otonom di samping melihat
kinerja yang kondusif dalam memaksimalkan fungsi dan manfaat otonomi daerah.
Dengan
dikeluarkannya Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006, tentang Paket Kebijakan
Iklim Investasi, dalam paket kebijakan tersebut menyebutkan beberapa aspek
seperti memperkuat kelembagaan pelayanan investasi, di mana dilakukan perumusan
pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah untuk urusan
penanaman modal sebagai penjabaran Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah.
Perlunya suatu
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenanngan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Melakukan
sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah (Perda) kabupaten/ Kota, dan
dengan membentuk tim bersama untuk mengawasi penyusunan Peraturan Daerah
(Perda) serta penyempumaan perda yang menghambat investasi. Menciptakan iklim
kondusif dalam hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja.
Upaya-upaya
Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan kewajibannya dalam rangka
menarik investor asing, tetapi ini tidak dapat tercapai apa yang menjadi
harapan bangsa dan bemegara. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintahan Daerah,
serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, dalam rangka memantapkan
penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, maka
untuk mendukuri;l penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan daerah
yang bersumber dari Pendapatan Ash Daerah (PAD).
Proses
penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 sebagai bukti bahwa
Provinsi ditempatkan sebagai sasaran otonomi daerah, bukan Kabupaten/ Kota
seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang otonomi daerah. Kondisi ini sebagai
salah satu penyebab "klaim" Pemerintahan Kabupaten/ Kota terhadap
Pemerintahan Pusat bahwa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan proses
pelaksanaan otonomi daerah. Tarik-menarik kewenangan dan kekuasaan antara
pemerintah pusat dan daerah sebetulnya
tidak perlu terjadi,
jika semuanya berunjuk kepada empat arahan kebijakan otonomi daerah seperti
tertuang dalam TAP MPR Nomor IVMPR/2000, yaitu: (1) peningkatan pelayanan
publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintah di
daerah; (2)kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan;
(3) menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan
masyarakat di daerah; Dan (4) menciptakan ruang yang lebih luas bagi
kemandirian daerah.
Selama ini
tercermin bahwa rencana dan tindakan pemerintah daerah, mengesankan bahwa
otonomi daerah tidak ada kaitannya dengan masalah investasi. Seakan-akan hal
tersebut hanya menjadi tugas pemerintah pusat untuk melakukan pemulihan
ekonomi, menciptakan stabilitas politik, dan mengupayakan ketentuan yang
menjamin kepastian hukum bagi investor.
Kewenangan
pemerintah daerah mencakup mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di
wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian `lingkungan sesuai
dengan peraturan perundang - undangan, dimaksud sumberdaya nasional adalah
sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia.
Dengan
berlakunya Undang-undangotonomi daerah, pemerintah daerah samakin diiuntut
menggali sumber pendapatan asli daerah
(PAD) karena penie!intah daerah tidak mungkin terus menggantungkan bantuan dad
pusat saja untuk membiayai pembangunan.
Dalam setiap
aktifitas usaha dikenakan pajak dan
retribusi daerah dengan tujuan yang semata-mata dalam meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dapat di masing-masing daerah Kabupaten/Kota. dalam
pembangunan daerah masing-masing.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dalam upaya menarik investasi asing, disini - akan membingungkan
investor dalam mer.arik inves}.asi sebesar-besamya, dengan menanamkan
rnodalnya di wilayah Kabupaten/Kota dalam upaya menarik investasi san5at sulrt,
karena seorang investor sangat menginginkan adanya suatu kepastian hukum artinya seorang investor tidak drprA3r-!iUter r'!alarh proses investasi di samping adanya stabilitas
politik dan keamanan yang terjamin, maksudnya tujuan investor
berinvestasi tidaklah sia-sia, artinya investor untuk tetap memperoleh
keuntungan dalam berinvestasi.
Adapun ketidaksinkronan Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota terjadi, karena masing - masing daerah mempunyai kewenangan
yang bebas, akhirnya dalam pelaksanaan peraturan daerahnya masingrnasing
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan, yang dapat merugikan investor,
maka terjadi tidak adanya kepastian hukum, menambah
beban berat bagi investor dan seringnya adanya peraturan daerah dalam
pelaksanaannya tumpang-tindih satu dengan yang lain.
Pembangunan yang
dibangun selama empat dekade yang mengharapkan tetesan ke bawah (trickledown effect) hanya meniadi teori
ekonomi pembangunan saja. Di tingkat
lapangan, masyarakat yang hidup dipinggir perusahaan-perusahaan raksasa hanya
menjadi penonton yang arif melihat bagaimana sumber daya alamnya dikeruk.
Bayangkan,
kemiskinan justru lebih banyak di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam
berlimpah, seperti irian jaya, aceh, dan
Kalimantan timur, dan riau. Sekarang ketika giliran otonomi daerah datang,
perusahaan-perusahaan tersebut mengeluhkan, berbayai pc::m±nla•undasrah yang sebetulnya tidak banyak-banyak (urT,iat besar), . untuk ulcw-an
bis^a Skala besar. Baru sekarang IrEfeka ml;;ta, !til berarti keuntungan
puluhan }ahun beroperasi di wilayah mereka tidak perr;ah dipertanyakan oleh
daerah.
Kasus, Newmont
Minahasa Paya, yang notabene mer<ipakan perusatraan besar Amerika, ribut
karena dirr;inta oleh pengadilan setempat untuk rner:utup usahanya dengan
alasan Newmont tidak rnau membayar pajak atas batu buangan dad hasil penggalian di pertambangan.
Walaupun
keputusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi, namun dibatalkan oleh Mahkamah
Agung (MA) akhirnya, Newmont bersedia membayar pajak antara US$ 400500 ribu
setelah pemerintah daerah bersedia menarik tuntutannya. Hanya pajak sebesar itu
Newmont kurang perkenan, padahal keuntungan yang diperolehnya dad pengurasan
sumber daya tambang di Sulawesi Utara jauh berlipat-lipat dari kewajiban pajak
yang masih dalam hitungan ratusan ribu dolar.
Kasus Exxon
Mobil juga menarik untuk diperhatikan. Satu bulan saja perusahaan raksasa ini
tidak beroperasi, Indonesia bisa kehilangan devisa sebesar Rp. 1 trilyun
sebagai akibat ekspor LNG dari Arun ke jepang dan Korsel LNG dari arun ke
jepang dan korsel terhenti. Jadi rakyat
tidak bisa disalahkan begitu saja dengan Exxon Mobil menutup perusahaannya tersebut.
Pemerintahan
Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, serta untuk menjamin
agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien, dan bersasaran maka
diperlukan perencanaan pembangunan nasional.
Sektor investasi
yang tidak dapat diragukan lagi, ini memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap upaya pemerintah untuk memperkuat capaian-capaian berbagai
indikator ekonomi di suatu daerah, seperti pengangguran, pertumbuhan ekonomi,
pendapatan asli daerah, dan sebagainya. Jika investasi asing dan domistik tidak
berkembang pada tingkat yang sewajarnya dengan dalih resiko investasi tinggi,
sehingga otonomi daerah menjadi gagal, ini merupakan bukti bahwa fasilitasi
pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan investasi dalam era otonomi daerah
berjalan tidak efektif.
Dengan ini
pemerintah daerah berwenangan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) dalam
meningkatan asli daerah (PAD) yang sebanyak-banyaknya. Maka perkembangannya
banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pembuatan Peraturan daerah
(Perda) Kabupaten/Kota masing-masing, akibatnya tidak sesuai lagi dengan tujuan
pembangunan nasional, dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan
bernegara.
Jika dihubungkan
dengan teori Hans Kelsen "Stufenbau
Theory" yang menyebutkan bahwa norma yang berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, demikian seterusnya sampai akhirnya pada norma yang tertinggi, yaitu
norma dasar (grundnorm) (Maria,
Indriati, 1998: 8)
Berdasarkan pada
teori Hans Kelsen maka penarikan
kewenangan penyelenggaraan penanaman modal, dalam rangka penanaman modal asing
dan penanaman modal dalam negeri melalui satu atap dikembalikan kepada
kewenangan Pemerintah daerah sebagai otonomi daerah yaitu pemberian kewenangan
seluas-luasnya kepada pemerintah daerah.
Pemerintahan
Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, serta untuk menjamin
agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien, dan bersasaran maka
diperlukan perencanakan pembangunan nasional.
Pakar ekonom
Indef Drajad H. Wibowo N (Jawa Pos, 14 Oktober 2003) mengatakan, terus
menurunnya Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) karena terganjal berbagai permasalahan, baik non ekonomi maupun ekonomi.
Berdasarkan beberapa survey, investasi Indonesia masih kalah jauh dibandingkan
dengan china, Vietnam, dan India. Faktor penyebabnya, antara lain masalah
transparansi dan good govemance.
Naiknya BBM
khususnya untuk industri dan terjadi peristiwa ledakan bom Bali II yang
waktu bersamaan pada tanggal 1 oktober 2005 membuat, investor asing mengkaji
ulang niat mereka untuk membuka pabrik pada kawasan industri. Tjipto Sumarsono
mengatakan sejak harga BBM naik setidaknya ada tiga investor asing yang menunda
keinginan mereka untuk membuka pabrik baru di kawasan industri hasil patungan
antara PT. Semen Gresik Tbk dan PT. Petrokimia Gresik itu.
Mengenai kinerja
PMA, Drajat menilai positif, hanya kenaikannya tidak terlalu signifikan.
Investor asing belum berani all out menanamkan modalnya di Indonesia karena
masih banyaknya hambatan investasi, seperti fiskal, birokrasi, dan penegakan
hukum. Karena itu, walupun ada kenaikan PMA, hal ini tidak lebih dari sekedar
start menjelang tahun 2005. Nilai persetujuan investasi yang dicatat BKPM
sekarang itu realisasinya kemungkinan dua tahun lagi.
Sebenarnya
pelaksanaan otonomi daerah memberi banyak peluang bagi Pemerintah Daerah untuk
menarik investor asing ke daerah. Adapun langkah yang bisa dilakukan adalah
menciptakan kondisi yang tertib dan aman, menjamin kepastian hukum,
menyefianakan birokrasi prosedur perizinan, memberikan insentif bagi industri
yang mampu menyerap tenaga kerja, ramah lingkungan, yang mampu bermitra dengan industri kecil,
yang mampu mengembangkan ekspor komoditi dan sebagainya. Hal yang penting untuk
segera dilakukan adalah melakukan segala persiapan berkaitan dengan penggalian dan
pengindentifikasian potensi daerah, menyusun rencana dan strategi yang jelas
sehingga tujuan dan sasaran pemerintah daerah untuk meningkatkan penanaman
modal di daerah secara maksimal dapat tercapai.
Melihat pada
peristiwa-peristiwa tersebut dalam penanaman modal asing dan penanaman modal
dalam negeri yang banyak tidak jalan sebagaimana mestinya Pemerintah belum bisa
melaksanakan konstitusi. Maka Presiden Republik Indonesia mengeluarkan suatu
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tanggal 12 April 2004,
tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri melalui sistem pelayanan satu atap. Kepala BKPM
dalam melaksanakan sistem pelayanan satu atap berkoordinasi dengan instansi
yang membina penanaman modal (Pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2004).
Selama ini
Indonesia dikenal memiliki potensi sumber daya aiam yang melimpah, buruh yang
cukup bersaing, belum lagi jumlah penduduk yang cukup besar sebagai pangsa
pasar. Dan dengan upaya peningkatan sarana dan prasarana penunjang,
melakukan efesiensi dalam berbagai bidang, penegakan hukum dan pembrantasan KKN,
peningkatan sumber daya manusia. Selain itu perlu menciptakan prosedur yang
sederhana, pemberian insentif yang menarik, jaminan keamanan, stabilitas
politik dan ekonomi serta kepastian hukum bagi investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia.
Salah satu
kelemahan pemerintahan selama ini ialah banyak sekali peraturan
perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan sebatas aturan dasarnya, namun
tidak segera diikuti dengan aturan pelaksanaannya. Akibatnya, terdapat
undang-undang yang dilandasi idealisme yang tinggi tidak dapat
dioperasionalisasikan sesuai dengan maksud dan tujuannya, karena dikaburkan
oleh pragmatisme penguasa dalam menjaga kepentingannya.
Efektivitas
penegakkan hukum dapat dipengaruhi oleh berbagai sebab, misalnya dari faktor
hukumnya, aparat penegaknya dan dari faktor warganya sendiri. Dengan
sosialisasi diharapkan setiap warga negara mengetahui tentang tindakan-tindakan
apa saja yang boleh dan harus dilakukan dan mengetahui tindakan apa saja yang
tidak boleh dan harus ditinggalkannya. Asumsinya jika sosialisasi telah
berhasil dilakukan dengan baik, dan arena itu semua orang telah mengetahui
perilaku-perilaku (normative) yang seharusnya diikuti dalam kehidupan berwarga negara,
maka kepatuhan warga negara terhadap hukum akan tinggi. Sebagaimana diketahui
bahwa sebagus dan sesempurna apapun hukum dibuat pada akhirnya efektivitasnya
terkembali kepada kc-mampuan dan kesiapan aparat penegaknya di lapangan.
Ketegasan dan kemampuan aparai penegakan hukum di lapangan secare obyektif
sangat menentukan efektifitas kepatuhan warga negara terhadap hukum. Selain
itu, tingkat tolenrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan acapkali juga
menentukan efektivitas hukum. Jika aparat terlalu toleran terhadap pelanggaran
maka warga negara akan terbiasa melakukan pelanggaran.
Menghadapi suatu
permasalahan pertentangan kepentingan antara investor dengan negara penerima
modal, serta menyangkut baik buruknya modal asing tersebut perlu kearifan
pemerintah. Hal tersebut menuntut ketegasan sikap pemerintah 'negara penerima
untuk menetapkan berbagai kebijakan dar~ pengaturan penanaman modal yang tidak
saja berpihak pada kepentingan nasiona! namun juga kepentingan investor.
Untuk hal
tersebut berarti pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang menarik; keadaan
sosia!, ekonomi, politik yang stabil, kebijaksanaan peraturan perundang -
undangan harus jeias, memberikan
kepastian hukum bagi penanaman modal asing; kepastian konsistensi antar
ketentuan peraturan perundang-undangan; kepastian antara ketentuan dan
pelaksanaan hukumnya (law enforcement), serta
memberikan perlakuan,yang tidak diskriminatif terhadap modal asing.
Situasi politik
dan keamanan di negara kita ini: dan dengan otonomi daerah diperlakukan maka
lebih terkesan adanya birokrasi yang berkepanjangan, dan ini berarti seorang
investor akan mengeluarkan biaya yang cukup besar, dan ini bisa terjadi sebelum
dan sesudah beroperasi.
Dalam pembagian
suatu urusar: pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, ada perkecualian urusan pemerintahan yang oleh Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 10 ayat 3 ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.
Urusan Pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi :a. politik luar
negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi;e. moneter dan fiskal nasional;
dan f. agama.
Sehingga masalah
penanaman modal bagi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri
menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini BKPM; dan pemerintah daerah Propinsi
dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Sehingga tujuan pelayanan satu atap
tercapai dan tidak terkesan sebaliknya. Kewenangan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota tentang perizinan (Pasal 2 Keputusan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004, tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman
Modal).
Di samping
beberapa alasan faktor internal menjadi hambatan investor menanamkan modalnya
di daerah, tetapi tidak menutup pada faktor eksternal mempengaruhi, dengan
munculnya persepsi negatif pemeringkatan Lembaga lnternasional yang senantiasa dapat
menempatkan citra negatif iklim investasi di Indonesia senantiasa dapat menjadi
penghambat dalam peningkatan investasi asing (Laporan World Investment Report
Tahun 2002 dari Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan BangsaBangsa).
Persaingan yang semakin tajam antar negara dalam menarik investasi karena
pengaruh gelombang liberalisasi.
Dalam
melaksanakan tugas-tugas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
perlu adanya pertanggurxjjawaban atas pengendalian pembangunan investasi untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dad tujuan pembangunan. Ketidaksinkronan hukum
mengambat investasi karena beberapa faktor antara lain :
Pertama faktor
kewenangan pemerintah Kabupaten/ Kota dalam melaksanakan otonomi daerah,
terkait penanaman modal, yang tunduk pada Keputusan Menteri Negara Investasi/
Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Nomor 37/SK/1999, tentang pelimpahan
kewenangan pemberian persetujuan dan fasilitas serta perizinan pelaksanaan
penanaman modal kepada Gubemur kepala daerah Provinsi, maka kewenangan dalam
penanaman modal adalah Gubemur Kepala Pemerintah daerah Propinsi.
Kemudian atas
kewenangannya, kemudian dapat pelimpahkan suatu kewenangannya kepada pemerintah
daerah Kabupaten/Kota, hal tersebut menganut asas desentralisasi, dengan
kewenangan pemerintah pusat yang berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004, tentang penyetenggaraan penanaman modal dalam
rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui sistem
pelayanan satu atap, yang berwenang disini adalah Badan Koordinator Penanaman
Modal (BKPM), merupakan instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman
modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Kegiatan tersebut menganut
asas sentralisasi artinya semua kegiatan ditarik ke pusat
(sentral), dan ini tidak sesuai dengan terbentuknya Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Kedua faktor kekuasaan pemerintah
Kabupaten/ Kota dalam menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya, untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan, maka pemerintah daerah Kabupaten/ Kota berlomba-lomba mengeluarkan
peraturan daerah masingmasing dalam peningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD),
sehingga menimbulkan ketidaksinkronan antara peraturan daerah Kabupaten/Kota
yang satu dengan yang lain justru menghambat investasi. Ketidaksinkronan hukum
berdampak terhadap investasi, seperti menambah biaya yang harus dikeluarkan
serta tidak dapat dipredeksi secara pasti.
DAFTAR PUSTAKA
- Anoraga, Pandji., Perusahaan Multi Nasional Penanaman Modal Asing, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
- Winters, Jeffrey A., Power In Motiv Modal Berpindah, Modal Kuasa. Faesal H. Basri., Penerbit Pustaka Harapan, 1999.
- Black, Henry Cambell., Black Law Dictionary, 6th ed, St. paul MN, West Publishing Co.,1990.
- Davidson, Paul J., Invesment In South East Asia Policy And Law, Koordinator Asian Pasific Research And Resource,
- Assosiate Preferson, Departement Of Law, carieton University. Attawa Canada. Singapure.,1997.
- Dirdjosisworo, Soedjono., Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit CV. Mandar Maju Bandung,1999
- Effendi, Elfian., Tuntutan Itu Masih Menyala, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
- Gautama, Sudargo., Abritrase bank Dunia Tentang Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Alumni Tahun 1994.
- Hadjon, Philipus., Wewenang, Jurnal yuridika, Edisi Nomor 5 dan 6, 1977.
- Himawan, Charles., The Foreign Investment Process In Indonesia, Gunung Agung Singapore, 1980;
- Kartasapoetra G. Dkk. Manajemen Penanaman Modal Asing, PT. BinaAksara, Jakarta, 1985.
- Mac Colin, Andres., Ichlasul Amal, Hubungan Pusat Dan Daerah dalam pembangunan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
- Oentoeng Soerapati., Hukum Investasi Asing, Salatiga, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Kristen Satyawacana,1999. Pandjaitan, Hulman., Hukum Dan Penanaman Modal Asing, Penerbit Radar Jaya off set Jakarta Tahun 2003.
- Rahmawati, Rosidah., Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Bayu Media Publishing, Malang, 2003.
- Widjaja, Rai I.G., Penanaman Modal (Pedoman Prosedur Mendirikan Dan Menjalankan Perusahaan Dalam Rangka PMA Dan PMDN), Penerbit Pradnya
- Paramita, Jakarta, 2000; Sitorus T., Penanaman Modal dan Investasi, Penerbit Tarsito, Bandung,1999.
- ------------, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal Dan Pasar Modal, Penerbit Binaxipta, Bandung,1984.
- Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal Dan Pasar Modal, Penerbit Binacipta, Bandung 1984.
- Supancana, I.B.R., Kebijakan Dan Pengaturan Investasi Langsung Di Indonesia (Problema, Tantangan Dan Harapan), Penerbit Pusat Kajian Regulasi (Center For Regulatory Research), Jakarta, 2002.
- Sutopo, Siswanto., Pembiayaan Investasi Proyek (Capital Budgeting), Penerbit PT. Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2000.
Peraturan Perundang-Undangan :
- Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang Undang Nomor 11 Tahun 1070 Tentang Penanaman Modal Asing (LN 1987 Nomor 1 TLN. No.2818jo LN 1970 No. TLN. No. 1943);
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437;
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;
- Keputusan Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 37/SK/1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar