Senin, 06 Februari 2012

Ketidaksinkronan Hukum Menghambat Investasi


Oleh:
MADE WARKA
Dosen Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Pernah muat di Jurnal Kajian Masalah Hukum PERSPEKTIF KEADILAN
ISSN : 1410-3648, Vol. : XII Nomor 1 Tahun 2007


Abstract

Dyssynchronization of law in investment field happens in vertical and horizontal relationship. Forexample, relationship between the Decree of Investment MinistrylChief of Capital Investment Coordinator Agency Number 37/SK/9999, if follows decentralization principle. When it is related with the Decree of President of Republic of Indonesia Number29 Year2004, itfollows centralization principle.

According to Law Number 32 Year2004, in the relationship between Regency/City government with another, there is dyssynchronization because each regions only sued for optimal PAD increment, therefore many regional rules (Perda) which are established by RegencylCity government tend to obstruct capital investment in the RegencylCity area.

With dyssynchronization above, there is uncertainty concerning with the effect of lawtoinvestor, andfinally, thenumber ofunemployment isincreasing.

Keyword: Law, investment

Negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia pada umumnya mempunyai suatu keinginan yang kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonominya. Pelaksanaan pembangunan ekonomi tersebut diarahkan berdasarkan kemampuan diri sendiri, di samping memanfaatkan sumber lainnya sebagai unsur pendukung. Persoalan yang seling muncul adalah terbatasnya sumber dana di dalam negeri.

Tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas), yakni berusaha mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, di mana masyarakat yang adil dan makmur diwujudkan melalui pembangunan di berbagai bidang, diantaranya bidang ekonomi.

Pembangunan ekonomi identik dengan pembangunan sektor-sektor ekonomi yang terdapat di negara Indonesia, Seperti: sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor perikanan, sektor perikanan, sektor pertambangan, sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan lain-lain.

Menyadari pentingnya sumber modal tersebut untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, Pemerintah Indonesia sejak tanggal 10 Januari 1967 telah mengeluarkan kebijakan tentang penanaman modal, dan kemudian diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (L.N. 1967 Nomor 1 TLN-2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970, (L.N. 1970 Nomor 46, TLN 2943). Kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (L.N. 1968 Nomor 33, TLN 2853 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970, (L.N. 1970 Nomor47, TLN 2944).

Dalam mengantisipasi hal tersebut pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu melakukan langkah-­langkah sinkronisasi hukum di bidang investasi, diharapkan investasi masuk ke wiayahnya semakin kondusif.

Penggantian sistem pengelolaan pemerintahan di daerah dengan model pelaksanaan otonomi daerah, maka otonomi yang luas diletakkan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sebagai daerah yang paling dekat dengan rakyat, untuk itu kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota diserahkan kewenangan pemerintahan secara utuh kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, peradilan, dan agama, serta bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara    Pemerintah   dan    pemerintah daerah.

Investasi yang ditanamkan pada suatu daerah atau negara terdiri atas investasi domestik yang sering disebut penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Investasi tersebut memiliki fungsi sebagai sumber pendanaan dalam pembiayaan pengelolaan sumber daya alam. Mengenai penanaman modal dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.

Investasi asing yang banyak menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah adalah investasi langsung (foreign direct investment). Penanaman modal asing dengan cara ini berlangsung melalui pembangunan unit-unit produksi langsung pada daerah dimana investasi ditanamkan. Adanya investasi tersebut, dapat menguntungkan daerah dalam mengelola dan mengolah sumber daya alam yang sudah dimiliki, mendukung peningkatan pendapatan masyarakat dan manfaat dari investasi langsung bersifat jangka panjang dan mempunyai efek sampingan yang lebih besar dari keuntungan financial.

Manfaat lainnya adalah penyiapan lapangan kerja, transfer teknologi dan memaksimalisasi  pengelolaan  sumber daya alam di daerah.

Ketidaksinkronan terjadi, jika melihat Keputusan Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Nomor 37lSK/1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur Kepala Daerah Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian yang berkewenangan dalam investasi di daerah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, dalam hal ini adalah Bupati/ Wali Kota itu sendiri, dan memberlakukan asas desentralisasi, dengan ada dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004, tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.

Yang berkewenangan berkaitan dengan investasi adalah Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), yaitu instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman modal dalam rangfca PMA dan PMDN dan hal ini memakai asas sentraliasi.

Pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam meningkatkan pembangunan ekonominya, pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan peraturan daerah masing-masing, dan peningkatan PendapatanAsli Daerah (PAD) menjadikan alasan dikeluarkannya peraturan daerah masing-masing pemerintah daerah Kabupaten/Kota.

Hal tersebut dikeluarkan berdasarkan pada kepentingannya masing-masing pemerintah daerah Kabupaten/ Kota, seper6 dalam penentuan pajak dan retribusi dafam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada akhimya terjadi pruduk-produk peraturan daerah (Perda) yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan karena masing-masing perebutan lahan sebagai tuntutan peningkatan Pendapayan asli Daerah (PAD) yang dapat menghambat investor berinvestasi, disamping investor dengan kehati-hatiannya berinvestasi memandang, biaya yang harus dikeluarkan bertambah juga memerlukan waktu penyelesaian proses birokrasi semakin panjang (bertambah). Dalam Penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif.

Dari latar belakang tersebut dapat dikemukakan permasalahan "Mengapa ketidaksinkronan hukum mengambat investasi?".

Sesuai dengan amanat Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu bahwa otonomi daerah luas daerah diharapkan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan dalam keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, penyelenggaraan pemerintahan dititik beratkan pada daerah atau disebut desentralisasi, tidak lagi seperti masa-masa yang lalu dimana penyelenggaraan pemerintahan dititik beratkan pada pusat atau disebut sentralisasi. Undang-undang ini memberikan peluang seluas-luasnya kepada daerah disertai pemberian hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur rumah tangganya sendiri, sehingga ada keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah, juga dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berdasarkan keadilan.

Seiring dengan prinsip otonomi daerah, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya.

Artinya Daerah untuk meningkatkan lyesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal ini tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.

Dengan perjalanan waktu, ternyata terjadi ketidaksinronan dalam peraturan perundang-undangan baik dalam hubungan vertikal maupun horizontal, khususnya dalam penanaman modal. Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Nomor 37/SK/1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi.

Dalam Pasal 2 menyebutkan dengan pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3), maka penerbitan Surat Persetujuan, Surat Persetujuan Fasilitas dan Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal dapat dilakukan oleh Menives/ Kepala BKPM atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi dalam hal ini Ketua BKPMD sesuai dengan permohonan yang diajukan calon penanam modal kepada Meninves/ Kepala BKPM atau Ketua BKPMD.

Dengan demikian kewenangan ada pada Pemerintah Daerah Propinsi atau Ketua BKPMD. Di Jawa Timur dikenal dengan Badan Penanaman Modal (BPM), hal ini menganut asas desentralisasi, yang sejiwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tetapi, Keputusan Menteri tersebut timbul ketidaksinkronan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004, tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.

Hal ini dilihat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 3 menyebutkan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c tentang rangka Penanaman Modal asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), berdasarkan pelimpahan kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membina bidang - bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan atu atap.

Jadi yang berkewenangan dengan investasi, adalah Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), merupakan instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), adalah Gubernur/ Bupati/ Walikota sesuai dengan fungsi kewenangannya dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui sistem pelayanan satu atap. Keputusan Presiden tersebut kembali kepada asas sentralisasi artinya semua pelayanan perizinan, persetujuan, dan pemberian fasilitas dalam penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri disentralkan pada pemerintah pusat/Ketua BKPM. Terjadinya komplik produk hukum tersebut, maka diperlakukan asas Lex  Superior Derogat Lex Inferior, dimaksudkan undang-undang yang berlaku lebih tinggi, menyampingkan undang­undang yang lebih rendah.

Ketidaksinkronan secara horizontal dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat (2) menyebutkan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dalam ayat (3). Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan dan dekosentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Di luar yang menjadi urusan pemerintah meliputi, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, monter/ keuangan dan agama, hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi Kabupaten/ Kota, maka yang berkewenang dalam investasi adalah Bupati/ Wali Kota.

Terjadinya ketidaksinkronan hukum di bidang penanaman modal baik secara vertikal maupun secara horizontal, maka ketidakpastian hukum terjadi, dan hal tersebut dijadikan sebagai salah satu faktor pertimbangan seorang investor enggan menanamkan modalnya dalam kawasan yang ditentukan selainnya masih banyak faktor-faktor yang menjadi pertimbangan investor keinginan menanamkan modalnya di daerah, seperti faktor stabilitas politik dan keamanan.

Untuk men.apggulangi keadaan tersebut maka, pemerintah berupaya mengatasi dan mengejar ketinggalan dengan memperhatikan unsur penting dalam kegiatan penanaman modal, sehingga investor tertarik berinvestasi di daerah otonom di samping melihat kinerja yang kondusif dalam memaksimalkan fungsi dan manfaat otonomi daerah.

Dengan dikeluarkannya Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006, tentang Paket Kebijakan Iklim Investasi, dalam paket kebijakan tersebut menyebutkan beberapa aspek seperti memperkuat kelembagaan pelayanan investasi, di mana dilakukan perumusan pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah untuk urusan penanaman modal sebagai penjabaran Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.

Perlunya suatu perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenanngan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Melakukan sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah (Perda) kabupaten/ Kota, dan dengan membentuk tim bersama untuk mengawasi penyusunan Peraturan Daerah (Perda) serta penyempumaan perda yang menghambat investasi. Menciptakan iklim kondusif dalam hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja.

Upaya-upaya Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan kewajibannya dalam rangka menarik investor asing, tetapi ini tidak dapat tercapai apa yang menjadi harapan bangsa dan bemegara. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang­undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, dalam rangka memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, maka untuk mendukuri;l penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan daerah yang bersumber dari Pendapatan Ash Daerah (PAD).

Proses penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 sebagai bukti bahwa Provinsi ditempatkan sebagai sasaran otonomi daerah, bukan Kabupaten/ Kota seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang otonomi daerah. Kondisi ini sebagai salah satu penyebab "klaim" Pemerintahan Kabupaten/ Kota terhadap Pemerintahan Pusat bahwa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan proses pelaksanaan otonomi daerah. Tarik-menarik kewenangan dan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sebetulnya

tidak perlu terjadi, jika semuanya berunjuk kepada empat arahan kebijakan otonomi daerah seperti tertuang dalam TAP MPR Nomor IVMPR/2000, yaitu: (1) peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah; (2)kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan; (3) menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah; Dan (4) menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.

Selama ini tercermin bahwa rencana dan tindakan pemerintah daerah, mengesankan bahwa otonomi daerah tidak ada kaitannya dengan masalah investasi. Seakan-akan hal tersebut hanya menjadi tugas pemerintah pusat untuk melakukan pemulihan ekonomi, menciptakan stabilitas politik, dan mengupayakan ketentuan yang menjamin kepastian hukum bagi investor.

Kewenangan pemerintah daerah mencakup mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian `lingkungan sesuai dengan peraturan perundang - undangan, dimaksud sumberdaya nasional adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia.

Dengan berlakunya Undang-undangotonomi daerah, pemerintah daerah samakin diiuntut menggali sumber pendapatan asli daerah (PAD) karena penie!intah daerah tidak mungkin terus menggantungkan bantuan dad pusat saja untuk membiayai pembangunan.

Dalam setiap aktifitas usaha dikenakan pajak dan retribusi daerah dengan tujuan yang semata-mata dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat di masing-masing daerah Kabupaten/Kota. dalam pembangunan daerah masing-masing.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam upaya menarik investasi asing, disini - akan membingungkan investor dalam mer.arik inves}.asi sebesar-besamya, dengan menanamkan rnodalnya di wilayah Kabupaten/Kota dalam upaya menarik investasi san5at sulrt, karena seorang investor sangat menginginkan adanya suatu kepastian hukum artinya seorang investor tidak drprA3r-!iUter r'!alarh proses investasi di samping adanya stabilitas politik dan keamanan yang terjamin, maksudnya tujuan investor berinvestasi tidaklah sia-sia, artinya investor untuk tetap memperoleh keuntungan dalam berinvestasi.

Adapun ketidaksinkronan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota terjadi, karena masing - masing daerah mempunyai kewenangan yang bebas, akhirnya dalam pelaksanaan peraturan daerahnya masing­rnasing menimbulkan penyimpangan­-penyimpangan, yang dapat merugikan investor, maka terjadi tidak adanya kepastian hukum, menambah beban berat bagi investor dan seringnya adanya peraturan daerah dalam pelaksanaannya tumpang-tindih satu dengan yang lain.

Pembangunan yang dibangun selama empat dekade yang mengharapkan tetesan ke bawah (trickledown effect) hanya meniadi teori ekonomi pembangunan saja. Di tingkat lapangan, masyarakat yang hidup dipinggir perusahaan-perusahaan raksasa hanya menjadi penonton yang arif melihat bagaimana sumber daya alamnya dikeruk.

Bayangkan, kemiskinan justru lebih banyak di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam berlimpah, seperti irian jaya, aceh, dan Kalimantan timur, dan riau. Sekarang ketika giliran otonomi daerah datang, perusahaan-perusahaan tersebut mengeluhkan, berbayai pc::m±nla•undasrah yang sebetulnya tidak banyak-banyak (urT,iat besar), . untuk ulcw-an bis^a Skala besar. Baru sekarang IrEfeka ml;;ta, !til berarti keuntungan puluhan }ahun beroperasi di wilayah mereka tidak perr;ah dipertanyakan oleh daerah.

Kasus, Newmont Minahasa Paya, yang notabene mer<ipakan perusatraan besar Amerika, ribut karena dirr;inta oleh pengadilan setempat untuk rner:utup usahanya dengan alasan Newmont tidak rnau membayar pajak atas batu buangan dad hasil penggalian di pertambangan.

Walaupun keputusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi, namun dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) akhirnya, Newmont bersedia membayar pajak antara US$ 400­500 ribu setelah pemerintah daerah bersedia menarik tuntutannya. Hanya pajak sebesar itu Newmont kurang perkenan, padahal keuntungan yang diperolehnya dad pengurasan sumber daya tambang di Sulawesi Utara jauh berlipat-lipat dari kewajiban pajak yang masih dalam hitungan ratusan ribu dolar.

Kasus Exxon Mobil juga menarik untuk diperhatikan. Satu bulan saja perusahaan raksasa ini tidak beroperasi, Indonesia bisa kehilangan devisa sebesar Rp. 1 trilyun sebagai akibat ekspor LNG dari Arun ke jepang dan Korsel LNG dari arun ke jepang dan korsel terhenti. Jadi rakyat tidak bisa disalahkan begitu saja dengan Exxon Mobil menutup perusahaannya tersebut.

Pemerintahan Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, serta untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan nasional.

Sektor investasi yang tidak dapat diragukan lagi, ini memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap upaya pemerintah untuk memperkuat capaian­-capaian berbagai indikator ekonomi di suatu daerah, seperti pengangguran, pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dan sebagainya. Jika investasi asing dan domistik tidak berkembang pada tingkat yang sewajarnya dengan dalih resiko investasi tinggi, sehingga otonomi daerah menjadi gagal, ini merupakan bukti bahwa fasilitasi pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan investasi dalam era otonomi daerah berjalan tidak efektif.

Dengan ini pemerintah daerah berwenangan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) dalam meningkatan asli daerah (PAD) yang sebanyak-banyaknya. Maka perkembangannya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pembuatan Peraturan daerah (Perda) Kabupaten/Kota masing-masing, akibatnya tidak sesuai lagi dengan tujuan pembangunan nasional, dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara.

Jika dihubungkan dengan teori Hans Kelsen "Stufenbau Theory" yang menyebutkan bahwa norma yang berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai akhirnya pada norma yang tertinggi, yaitu norma dasar (grundnorm) (Maria, Indriati, 1998: 8)

Berdasarkan pada teori Hans Kelsen maka penarikan kewenangan penyelenggaraan penanaman modal, dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui satu atap dikembalikan kepada kewenangan Pemerintah daerah sebagai otonomi daerah yaitu pemberian kewenangan seluas-­luasnya kepada pemerintah daerah.

Pemerintahan Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, serta untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien, dan bersasaran maka diperlukan perencanakan pembangunan nasional.

Pakar ekonom Indef Drajad H. Wibowo N (Jawa Pos, 14 Oktober 2003) mengatakan, terus menurunnya Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) karena terganjal berbagai permasalahan, baik non ekonomi maupun ekonomi. Berdasarkan beberapa survey, investasi Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan china, Vietnam, dan India. Faktor penyebabnya, antara lain masalah transparansi dan good govemance.

Naiknya BBM khususnya untuk industri dan terjadi peristiwa ledakan bom Bali II yang waktu bersamaan pada tanggal 1 oktober 2005 membuat, investor asing mengkaji ulang niat mereka untuk membuka pabrik pada kawasan industri. Tjipto Sumarsono mengatakan sejak harga BBM naik setidaknya ada tiga investor asing yang menunda keinginan mereka untuk membuka pabrik baru di kawasan industri hasil patungan antara PT. Semen Gresik Tbk dan PT. Petrokimia Gresik itu.

Mengenai kinerja PMA, Drajat menilai positif, hanya kenaikannya tidak terlalu signifikan. Investor asing belum berani all out menanamkan modalnya di Indonesia karena masih banyaknya hambatan investasi, seperti fiskal, birokrasi, dan penegakan hukum. Karena itu, walupun ada kenaikan PMA, hal ini tidak lebih dari sekedar start menjelang tahun 2005. Nilai persetujuan investasi yang dicatat BKPM sekarang itu realisasinya kemungkinan dua tahun lagi.

Sebenarnya pelaksanaan otonomi daerah memberi banyak peluang bagi Pemerintah Daerah untuk menarik investor asing ke daerah. Adapun langkah yang bisa dilakukan adalah menciptakan kondisi yang tertib dan aman, menjamin kepastian hukum, menyefianakan birokrasi prosedur perizinan, memberikan insentif bagi industri yang mampu menyerap tenaga kerja, ramah lingkungan, yang mampu bermitra dengan industri kecil, yang mampu mengembangkan ekspor komoditi dan sebagainya. Hal yang penting untuk segera dilakukan adalah melakukan segala persiapan berkaitan dengan penggalian dan pengindentifikasian potensi daerah, menyusun rencana dan strategi yang jelas sehingga tujuan dan sasaran pemerintah daerah untuk meningkatkan penanaman modal di daerah secara maksimal dapat tercapai.

Melihat pada peristiwa-peristiwa tersebut dalam penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri yang banyak tidak jalan sebagaimana mestinya Pemerintah belum bisa melaksanakan konstitusi. Maka Presiden Republik Indonesia mengeluarkan suatu Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tanggal 12 April 2004, tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui sistem pelayanan satu atap. Kepala BKPM dalam melaksanakan sistem pelayanan satu atap berkoordinasi dengan instansi yang membina penanaman modal (Pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004).

Selama ini Indonesia dikenal memiliki potensi sumber daya aiam yang melimpah, buruh yang cukup bersaing, belum lagi jumlah penduduk yang cukup besar sebagai pangsa pasar. Dan dengan upaya peningkatan sarana dan prasarana penunjang, melakukan efesiensi dalam berbagai bidang, penegakan hukum dan pembrantasan KKN, peningkatan sumber daya manusia. Selain itu perlu menciptakan prosedur yang sederhana, pemberian insentif yang menarik, jaminan keamanan, stabilitas politik dan ekonomi serta kepastian hukum bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Salah satu kelemahan pemerintahan selama ini ialah banyak sekali peraturan perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan sebatas aturan dasarnya, namun tidak segera diikuti dengan aturan pelaksanaannya. Akibatnya, terdapat undang-undang yang dilandasi idealisme yang tinggi tidak dapat dioperasionalisasikan sesuai dengan maksud dan tujuannya, karena dikaburkan oleh pragmatisme penguasa dalam menjaga kepentingannya.

Efektivitas penegakkan hukum dapat dipengaruhi oleh berbagai sebab, misalnya dari faktor hukumnya, aparat penegaknya dan dari faktor warganya sendiri. Dengan sosialisasi diharapkan setiap warga negara mengetahui tentang tindakan-tindakan apa saja yang boleh dan harus dilakukan dan mengetahui tindakan apa saja yang tidak boleh dan harus ditinggalkannya. Asumsinya jika sosialisasi telah berhasil dilakukan dengan baik, dan arena itu semua orang telah mengetahui perilaku-perilaku (normative) yang seharusnya diikuti dalam kehidupan berwarga negara, maka kepatuhan warga negara terhadap hukum akan tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa sebagus dan sesempurna apapun hukum dibuat pada akhirnya efektivitasnya terkembali kepada kc-mampuan dan kesiapan aparat penegaknya di lapangan. Ketegasan dan kemampuan aparai penegakan hukum di lapangan secare obyektif sangat menentukan efektifitas kepatuhan warga negara terhadap hukum. Selain itu, tingkat tolenrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan acapkali juga menentukan efektivitas hukum. Jika aparat terlalu toleran terhadap pelanggaran maka warga negara akan terbiasa melakukan pelanggaran.

Menghadapi suatu permasalahan pertentangan kepentingan antara investor dengan negara penerima modal, serta menyangkut baik buruknya modal asing tersebut perlu kearifan pemerintah. Hal tersebut menuntut ketegasan sikap pemerintah 'negara penerima untuk menetapkan berbagai kebijakan dar~ pengaturan penanaman modal yang tidak saja berpihak pada kepentingan nasiona! namun juga kepentingan investor.

Untuk hal tersebut berarti pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang menarik; keadaan sosia!, ekonomi, politik yang stabil, kebijaksanaan peraturan perundang - undangan harus jeias, memberikan kepastian hukum bagi penanaman modal asing; kepastian konsistensi antar ketentuan peraturan perundang-undangan; kepastian antara ketentuan dan pelaksanaan hukumnya (law enforcement), serta memberikan perlakuan,yang tidak diskriminatif terhadap modal asing.

Situasi politik dan keamanan di negara kita ini: dan dengan otonomi daerah diperlakukan maka lebih terkesan adanya birokrasi yang berkepanjangan, dan ini berarti seorang investor akan mengeluarkan biaya yang cukup besar, dan ini bisa terjadi sebelum dan sesudah beroperasi.

Dalam pembagian suatu urusar: pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, ada perkecualian urusan pemerintahan yang oleh Undang­ Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 10 ayat 3 ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Urusan Pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi :a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi;e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

Sehingga masalah penanaman modal bagi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini BKPM; dan pemerintah daerah Propinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Sehingga tujuan pelayanan satu atap tercapai dan tidak terkesan sebaliknya. Kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota tentang perizinan (Pasal 2 Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004, tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal).

Di samping beberapa alasan faktor internal menjadi hambatan investor menanamkan modalnya di daerah, tetapi tidak menutup pada faktor eksternal mempengaruhi, dengan munculnya persepsi negatif pemeringkatan Lembaga lnternasional yang senantiasa dapat menempatkan citra negatif iklim investasi di Indonesia senantiasa dapat menjadi penghambat dalam peningkatan investasi asing (Laporan World Investment Report Tahun 2002 dari Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa­Bangsa). Persaingan yang semakin tajam antar negara dalam menarik investasi karena pengaruh gelombang liberalisasi.

Dalam melaksanakan tugas-tugas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota perlu adanya pertanggurxj­jawaban atas pengendalian pembangunan investasi untuk mencegah terjadinya penyimpangan dad tujuan pembangunan. Ketidaksinkronan hukum mengambat investasi karena beberapa faktor antara lain : 

Pertama faktor kewenangan pemerintah Kabupaten/ Kota dalam melaksanakan otonomi daerah, terkait penanaman modal, yang tunduk pada Keputusan Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Nomor 37/SK/1999, tentang pelimpahan kewenangan pemberian persetujuan dan fasilitas serta perizinan pelaksanaan penanaman modal kepada Gubemur kepala daerah Provinsi, maka kewenangan dalam penanaman modal adalah Gubemur Kepala Pemerintah daerah Propinsi.

Kemudian atas kewenangannya, kemudian dapat pelimpahkan suatu kewenangannya kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota, hal tersebut menganut asas desentralisasi, dengan kewenangan pemerintah pusat yang berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004, tentang penyetenggaraan penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui sistem pelayanan satu atap, yang berwenang disini adalah Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), merupakan instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Kegiatan tersebut menganut asas sentralisasi artinya semua kegiatan ditarik ke pusat (sentral), dan ini tidak sesuai dengan terbentuknya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Kedua faktor kekuasaan pemerintah Kabupaten/ Kota dalam menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya, untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan, maka pemerintah daerah Kabupaten/ Kota berlomba-lomba mengeluarkan peraturan daerah masing­masing dalam peningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD), sehingga menimbulkan ketidaksinkronan antara peraturan daerah Kabupaten/Kota yang satu dengan yang lain justru menghambat investasi. Ketidaksinkronan hukum berdampak terhadap investasi, seperti menambah biaya yang harus dikeluarkan serta tidak dapat dipredeksi secara pasti.

DAFTAR PUSTAKA
  • Anoraga, Pandji., Perusahaan Multi Nasional Penanaman Modal Asing, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
  • Winters, Jeffrey A., Power In Motiv Modal Berpindah, Modal Kuasa. Faesal H. Basri., Penerbit Pustaka Harapan, 1999.
  • Black, Henry Cambell., Black Law Dictionary, 6th ed, St. paul MN, West Publishing Co.,1990.
  • Davidson, Paul J., Invesment In South East Asia Policy And Law, Koordinator Asian Pasific Research And Resource,
  • Assosiate Preferson, Departement Of Law, carieton University. Attawa Canada. Singapure.,1997.
  • Dirdjosisworo, Soedjono., Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit CV. Mandar Maju Bandung,1999
  • Effendi, Elfian., Tuntutan Itu Masih Menyala, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
  • Gautama, Sudargo., Abritrase bank Dunia Tentang Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Alumni Tahun 1994.
  • Hadjon, Philipus., Wewenang, Jurnal yuridika, Edisi Nomor 5 dan 6, 1977.
  • Himawan, Charles., The Foreign Investment Process In Indonesia, Gunung Agung Singapore, 1980;
  • Kartasapoetra G. Dkk. Manajemen Penanaman Modal Asing, PT. BinaAksara, Jakarta, 1985.
  • Mac Colin, Andres., Ichlasul Amal, Hubungan Pusat Dan Daerah dalam pembangunan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
  • Oentoeng Soerapati., Hukum Investasi Asing, Salatiga, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Kristen Satyawacana,1999. Pandjaitan, Hulman., Hukum Dan Penanaman Modal Asing, Penerbit Radar Jaya off set Jakarta Tahun 2003.
  • Rahmawati, Rosidah., Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Bayu Media Publishing, Malang, 2003.
  • Widjaja, Rai I.G., Penanaman Modal (Pedoman Prosedur Mendirikan Dan Menjalankan Perusahaan Dalam Rangka PMA Dan PMDN), Penerbit Pradnya
  • Paramita, Jakarta, 2000; Sitorus T., Penanaman Modal dan Investasi, Penerbit Tarsito, Bandung,1999.
  • ------------, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal Dan Pasar Modal, Penerbit Binaxipta, Bandung,1984.
  • Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal Dan Pasar Modal, Penerbit Binacipta, Bandung 1984.
  • Supancana, I.B.R., Kebijakan Dan Pengaturan Investasi Langsung Di Indonesia (Problema, Tantangan Dan Harapan), Penerbit Pusat Kajian Regulasi (Center For Regulatory Research), Jakarta, 2002.
  • Sutopo, Siswanto., Pembiayaan Investasi Proyek (Capital Budgeting), Penerbit PT. Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2000.


Peraturan Perundang-Undangan :
  • Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang Undang Nomor 11 Tahun 1070 Tentang Penanaman Modal Asing (LN 1987 Nomor 1 TLN. No.2818jo LN 1970 No. TLN. No. 1943);
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437;
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;
  • Keputusan Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 37/SK/1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi;
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar